Perempuan ada untuk disayangi dan dikasihi, bukan untuk disakiti apalagi dibohongi.
-- Metamorfosa --
___________________________“SAYANG, ganti channel bola dong. Lagi rame-ramenya itu.”
Alka berusaha meraih remote yang disembunyikan Rara di saku celananya. Jam kerja baru saja berakhir. Setelan kemeja Alka juga belum berganti. Berkat pertandingan bola yang digembor-gemborkan seharian oleh rekan-rekan kerjanya, Alka bertahan dari delikan Rara yang keki.
“Apaan? Mandi dulu gih. Mas Alka bau!”
Rara memperketat pertahanannya. Ia memepetkan tubuhnya di lengan sofa seraya memakan keripik kentang. Air hangat dan pakaian ganti sudah disiapkan, mengapa si pemalas ini malah mengapeli televisi selepas pulang kantor?
“Mandinya nanti lima belas menit lagi, Yang. Lagian, baru jam delapan. Masih sore.”
“Sore apanya! Ini udah malem, Mas. Mandi kemaleman enggak bagus buat kulit.”
Agenda lembur memundurkan jam pulang Alka. Jam delapan, laki-laki itu baru tiba di rumah dan berkata sudah makan di luar. Akibatnya, makanan yang Rara masak terpaksa harus dimasukkan ke dalam kulkas untuk dimakan lain waktu.
“Paling keriput, Yang.” Alka memelas. Ia butuh melihat pemain andalannya berlaga malam ini. Mengapa Rara tidak kunjung peka?
Perempuan itu memasang senyum miring. “Bentar. Sinetronnya lagi ramai. Tanggung.”
Mau Alka salto atau kayang di hadapannya, ia tidak akan mengalah dari suaminya. Sudah cukup urusan kasur Rara yang mundur. Untuk televisi, big no!
Menghela napas kesal, Alka mencoba mencari cara. Ia harus menggunakan kecerdasannya dalam merayu.
Ah, tunggu dulu! Rara mana bisa dirayu dengan gombalan murahan. Salah-salah ia bisa diganjar tampolan di muka. Kalau sudah begitu, alamat tidur di kamar lain namanya. Dingin, mencium guling, meraba bantal. Aish! Itu tidak enak. Ia sudah kecanduan tidur berdua dengan Rara. Mana bisa diubah lagi seperti saat dirinya lajang dulu.
“Yang, besok Minggu ke puncak yuk,” pinta Alka.
“Males.”
Oke, cari ide lain.
“Ke rumah Ayah Adi?”
“Jaksel? Enggak ah, jauh.”
Hm, tantangan. Puncak tidak mau, rumah mertua pun tidak mau. Lalu, apa lagi? Alka menggaruk kepalanya bingung.
“Ke toko buku?”
Saran terabsurd yang pernah ia coba. Tetapi mau bagaimana lagi? Kecintaan Rara terhadap buku tidak bisa digoyahkan. Fiksi adalah bacaan favoritnya. Lebih-lebih lagi seperti sekarang di mana ia sibuk bekerja dan Rara menunggu kepulangannya di rumah. Pasti hobinya makin menggila.
Nah, sekarang Alka berbaik hati menjadi ATM berjalan Rara. Seratus buku diborong sekaligus, ia tidak akan protes asalkan channel televisi diganti.
“Boleh.” Secepat kilat, umpan Alka disambar. Remote televisi diangsurkan Rara dengan senang hati. “Rara juga udah buat list buku apa aja yang mau dibeli. Tadinya mau order online, tapi bisanya bertahap jadi ditunda dulu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Metamorfosa [TAMAT]
General FictionSayang, seberapa dalam pengetahuanmu akan cinta dan teka-tekinya? Mungkinkah cukup untuk menghindarkanmu dari luka yang sedemikian hebatnya? Sayang, seberapa paham dirimu akan manusia bertopeng seribu satu? Mungkinkah cukup untuk menghindarkanmu dar...