1. Aku, Liona dan dia, Dimas

78 11 4
                                    

Dulu, kita penuh kasih. Tapi sekarang, menatapmu saja, aku enggan.

Send.

LIONA menghembuskan napas lega, ketika berhasil mengirimkan beberapa qoutes yang dia buat. Bibirnya tidak mau berhenti tersenyum, ini kegiatan yang sering dia lakukan semenjak putus dari err--mantan tersialnya itu. Masih jelas diingatan Liona bagaimana cara Alex memustuskannya sebulan yang lalu. Begitu menjijikan. Dia jadi heran, kenapa dulu dirinya mau menerima Alex. Liona lupa, dia khilaf waktu itu.

Sepatutnya Liona paham, jika reputasi Alex bisa menjadi alasan dia untuk menolak cowok itu. Tapi, yang namanya cinta itu buta, Liona tetap saja menerima Alex. Dia akui dengan naif, kalau rasa sayang yang dia punya akan bisa merubah sikap Alex. Tapi nahas, malah rasa sakit yang Liona terima. Poor me.

Liona menutup notebook yang dia pakai tadi. Jari-jari tangannya bersatu, dan kemudian ditarik ke atas beserta tangannya. Dia ingin merenggangkan otot tangan yang kelelahan karena mengetik banyak kalimat.

Setidaknya, ini yang bisa dia lakukan, melampiaskan rasa sakit hatinya dengan menggunakan cara yang benar, dari pada menyayat tangannya dengan silet seperti orang tidak punya otak saja.

"Dulu, kita penuh kasih. Tapi sekarang, menatapmu saja, aku enggan," cibir Adit yang berdiri di depan pintu kamar Liona.

"Ngga kuat, bahasa adek gue ternyata berat juga, ya kalau lagi patah hati," lanjutnya.

"Kakak ... apaan sih, ngga usah ngeledek deh," ujar Liona dengan mimik muka cemberut.

Adit hanya tertawa menanggapi. Dia berjalan masuk, dan menyadarkan tubuhnya di meja belajar Liona dengan tangan yang terlipat di depan dada.

"Kayaknya belum ada yang move on nih," ujar Adit meledek.

"Nggak, jangan sok tahu deh jadi orang."

"Halah, ayo ngaku, lo belum move on kan dari Alex?" tuduh Adit, "duh, move on dong, Na move on."

Kepala Liona menggeleng dengan cepat, "Apasih, gue udah move on ya, Kak."

"Yakin?"

"Absolutely yes!"

Bibir Adit langsung terangkat ke atas. Dia senang jika akhirnya Liona bisa lepas dari segala macam hal yang berbau Alex. Sebenarnya, tangan Adit sudah gatal ingin memberi pelajaran kepada Alex kalau saja Liona tidak menahan dirinya. Rasanya Adit belum puas jika belum melihat Alex yang merintih kesakitan di depan wajahnya.

"Kalau udah move on, boleh dong lo ijinin gue buat hajar aja si Alex? Setidaknya, gue bisa berlaga seperti Kakak yang baik."

Liona mendesah panjang, "Ngga semua masalah harus diselesaikan dengan emosi, Kak."

"Tapi, gue belum tenang kalau belum liat Alex babak belur di depan lo. Bolehin gue hajar dia, ya?"

Kepala Liona langsung menggeleng cepat, "Ngga, 'kan udah Liona bilang--"

"Ngga semua masalah harus diselesaikan pake emosi, paham gue, Na paham banget," potong Adit.

Liona terkekeh geli melihat wajah Adit yang berubah cemberut. "Tuh, pinter."

"Iyalah gue pinter, emangnya lo. Udah tahu si Alex punya image buruk, tapi tetep aja lo terima jadi pacar."

"Ya, habis dia ganteng sih," tawa Liona menyebur, tapi melihat sorot mata tajam Adit membuatnya berhenti tertawa, "Hehe, bercanda, bercanda."

"Gue serius, Na. Kenapa lo mau sama dia sih? Kayak ngga ada cowok lain aja."

Liona hanya bergumam. Ketika matanya tidak sengaja melihat jam yang ada di dinding, seketika rasa panik melanda dirinya. "Nggak tau, udah ya, Kak aku mau siap-siap dulu, udah telat nih."

HSR (2): Back To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang