Three

97 14 16
                                    

"Ma-maaf, ya. Kamu jadi harus nemenin aku gini. Mamaku emang kadang nyebelin," Aku masih enggan menatap mata Rafa.

"Nggak pa-pa, kok. Gue juga khawatir, sih. Jangan-jangan lo udah lupa jalan ke kios belakang rumah lo."

"Kalau itu sih, gak mungkin. Selama ini juga,  aku yang selalu disuruh untuk beli apa-apa."

Kemarin saja aku disuruh beli garam. Kayaknya mamaku benar-benar sengaja membuatku jalan berdua bersama Rafa begini. Wajar aja sih, karena selama 3 tahun ini dia sering bertanya kenapa aku tidak pernah ke rumah Rafa lagi, tapi kujawab seadanya.

"Ngomong-ngomong, lo kok, ngomong pake aku-kamu? Biasanya 'kan, pake lo-gue."

Sebenarnya aku juga tidak tahu. Tapi kebiasaanku saat berbicara dengan orang baru yaitu menggunakan aku-kamu. Tapi sepertinya alasan itu tak akan kuutarakan. Nanti yang ada Rafa tersinggung, karena aku mengatakan dirinya orang baru.

"Mana gak sinkron lagi sama muka lo yang garang itu," Rafa cengengesan.

Aku langsung menoleh dengan wajah garang.

Dia tertawa sambil menunjuk mukaku, "Nah, yang gini nih. Galak banget udah kayak mau makan orang. Takut gua."

Dia bilang takut, sambil ketawa. Dasar aneh.

"Tapi kalau dipikir-pikir, ngangenin juga, ya, muka garang lo itu," gumam Rafa, yang masih bisa kudengar.

Rafa memang paling ahli membuat mukaku memanas.

Ke Kios Belakang RumahmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang