Six

88 15 72
                                    

"Beli garem, Ta."

Ata tampak bingung. Ya iyalah, kemarin, 'kan aku beli garam di sini juga. Ata juga yang melayaniku.

Selagi mengambil garam, ia menanyaiku, "Kemarin juga beli garem, 'kan, kak?"

Aku memang akrab dengan Ata. Dulu dia merupakan adik kelasku di SMP. Aku sering mengajarinya pelajaran yang ia tidak mengerti.

Oh, dan tentu saja ia mengetahui sejarahku dengan Rafa.

"Iya," aku menjawab setelah ia memberikan garam kepadaku. Aku pun menukarnya dengan uang lima ribuan.

"Terus, kenapa beli lagi?"

Aku tidak tahu mau jawab apa. Jadi yang kulakukan hanya melirik Rafa yang sedari tadi berada di sampingku. Ata ikut melirik ke sampingku. Seketika itu ia terkejut, mungkin ia tidak menyadari keberadaan Rafa sejak kami datang.

Saat Ata menyadari raut kesal sekaligus malu di wajahku, ia tersenyum jahil. Aku langsung melotot kepadanya.

Ngapain lo senyum-senyum?!

Namun ia langsung berbalik, berlagak sibuk mengambil uang kembalian untukku.

"La," Rafa berbisik, "Kembaliannya beli permen aja, ya?" Katanya dengan senyuman layaknya anak kecil, yang berefek pada otakku yang mulai berpikir macam-macam, apasih yang nggak buat lo Raf?

"Ya udah. Ini ambil berapa, Ta, permennya?"

"Oh, empat."

Kutebak dari wajahnya, pasti Rafa senang mendapatkan permen-permen itu secara cuma-cuma.

"Nih, buat lo. Yang bentuk hati, soalnya lo spesial."

What did he said?

Ata berdehem mengintrupsi. "Sering-sering belanja di sini, ya, Kak Akila, Kak Rafa." Katanya diakhiri cekikikan gak jelas.

"Iya, Ata. Makasih juga." Aku tersenyum, sambil melayangkan tatapan tapi-lain-kali-gak-usah-ngejekin-gue-sama-Rafa. Aku dan Rafa pun berlalu dari Kios Ata.

***
A/n:

Satu part lagi selesai gengs.

(Flash spoiler; part terakhirnya panjang)

Ke Kios Belakang RumahmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang