Seven [END]

121 18 117
                                    

"Raf, tuker dong. Gue gak suka rasa stroberi. Gue sukanya rasa cokelat."

Rafa mengangguk, ia lalu memberiku permen rasa cokelat.

Yah, padahal sayang banget. Maaf, Raf. Pemberian hatimu kutolak dulu. Aku belum siap. Lah.

"Tiga tahun gak ketemu aja, gue udah lupa rasa kesukaan lo. Payah banget." Rafa seperti bicara dengan dirinya sendiri.

"Maksudnya gue yang payah, gitu, Raf?"

"Iya, lo yang payah."

"Oh, oke. Cukup tau aja sih, gue." Aku berlagak ngambek.

Rafa tertawa, "Nggak lah. Gue yang payah. Eh tapi lo juga payah ah, ngejauhin gue tiga tahun. Parah lo."

"Lo lebih payah. Masa baru tiga tahun, rasa permen kesukaan gue udah lupa. 'Kan, gak pernah berubah."

"Rasa lo ke gue berubah nggak?"

Aku terdiam. Rafa menatapku serius, tetapi hanya sedetik, karena sesaat kemudian tatapannya berubah, menjadi tatapan jahil.

"Bercanda." Katanya, lalu tertawa garing.

Bercandanya gak ada yang lebih bikin spot jantung selain itu ya, Raf?

Capek aku kalau ngobrol sama Rafa.

Capek nahan malu,

Capek deg-degan,

Capek pokoknya. Bisa-bisa aku jantungan kalau begini terus.

Maksudku, kita baru saja bertemu dan mengobrol lagi sejak 3 tahun, dan dia sudah berbicara sembarangan.

"Raf, Lo bisa ... berhenti gak?"

"Kenapa? Lo udah gak suka lagi sama gue?"

Aku menghela napas berat.

"Ini bukan soal perasaan gue, Raf. Tapi ini tentang lo. Lo yang terlalu ... frontal. Gue jadi ... apa ya? Gak nyaman mungkin."

"Gue juga belajar frontal kan dari lo." Aku tahu betul dia sedang menyinggung peristiwa 3 tahun yang lalu.

Aku mendongak menatap Rafa yang kini sedang cengengesan.

"Gue serius, Raf. Kalau lo bercanda mulu gue jadi capek bicara sama lo. Percuma." Saat aku mengatakan hal tersebut, pandangan Rafa berubah menjadi sedikit lebih serius. Well, dia memang tidak pernah 100% serius.

"Hm ... jadi gitu, ya." Katanya setelah diam selama beberapa menit.

"Iya."

"Jadi ... gue mesti pelan-pelan aja ngedeketin lo apa gimana?" Rafa mengatakan hal itu dengan pandangan lurus ke depan.

"Hah?" Aku menoleh padanya, "Ngedeketin gimana maksudnya?"

Rafa malah tersenyum misterius. Lalu dia tertawa.

"Ya, pendekatan sebagai teman yang udah lama gak ketemu, lah! Atau bisa juga sebagai sahabat, atau..."

Aku menatapnya tanpa berkedip. Berharap dia mengatakan sesuatu seperti--

"Ngarep, ya?"

Sialan. Hancur sudah ekspektasiku.

"RAFA NYEBELIN!"

Dan, perjalanan pulang dari kios belakang rumahku diisi dengan kejar-kejaran serta aku yang tertawa bersama Rafa.

TAMAT.

A/n:

ENDINGNYA EMANG SEGITU DOANG HAHAHAHAH.

Bahagianya akutu, sederhana kok. Kalian baca cerita ini aja w uda seneng. Notif vote+komen kalian apalagi.


Ohiya spesial thanks untuk baskebas dan nrainm__ yang kalo komen sangat deres seperti kaliwanggu river!

Makasih, ya, yang udah ngikutin dari awal!!!

Big love from Rafa and Akila! And also me xD

Ke Kios Belakang RumahmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang