1. Pertemuan

6.5K 336 11
                                    


Udara panas menyambut Aeri ketika keluar dari bandara. Aeri menghela napas dan membaca bismillah ketika langkah kakinya menyusuri jalanan bandara. Dengan dua koper yang besar di masing -masing tangannya.

Dia baru saja mendengarkan ceramah dari salah satu ustadz favoritnya dengan headset yang masih menempel di kedua indra pendengarannya.

Saat hendak menuju ke parkiran bandara, di sana dia melihat segerombolan pramugari cantik. Dulu dia tidak suka dengan pramugari karena jujur dia iri pada mereka. Namun saat ini, dia merasa biasa-biasa saja. Karena terlalu fokus pada pramugari cantik sampai - sampai hak sepatunya malah masuk ke lubang kecil penutup selokan.

Dia melepas sebelah sepatunya dan duduk berjongkok mencoba melepaskan sepatu yang terjerat di lubang selokan sambil merapalkan sumpah serapah atas kecerobohannya.

Dari arah belakang sebuah mobil berhenti tepat di samping Aeri. Namun ia tidak memperdulikannya karena terlalu fokus pada sepatunya.Pria yang mengendarai mobil tersebut melihatnya dari mobil dan mencoba mengabaikannya. Dia menyalakan mesin mobilnya tetapi mematikannya kembali.

"Eh!"  Aeri terkesiap, cukup terkejut saat sebuah boomber jaket pilot berada di atas pahanya.Aeri saat ini memakai rok yang tingginya selutut dengan model lonceng di ujungnya.
"Mbak sedang apa?"
Aeri tersenyum pada pria tersebut. Pria di hadapannya tinggi, putih dan terlihat berwibawa meskipun hanya memakai kaos putih polos dan celana jeans.
"Sepatu saya nyangkut mas," ucap Aeri dengan pelan.
"Coba mbak, saya bantu."
Aeri pun memberi ruang agar pria tadi bisa membantunya.

"Sepertinya heelsnya mbak nyangkut terlalu dalam."
"Terus bagaimana mas?"
"Mbaknya ikhlasin saja sepatunya."
Pria tersebut melepas sepatunya dan yang tersisa hanya kaos kaki semata kaki.
"Pakai saja sepatu saya, daripada mbak tidak pakai sepatu."
"Terus mas bagaimana?"
"Saya ada sepatu lain."
k..Aeri bikin malu."
"Sepertinya heelsnya mbak nyangkut terlalu dalam."
"Terus bagaimana mas?"
"Mbaknya ikhlasin saja sepatunya."
Pria tersebut melepas sepatunya dan yang tersisa hanya kaos kaki semata kaki.
"Pakai saja sepatu saya, daripada mbak tidak pakai sepatu."
"Terus mas bagaimana?"
"Saya ada sepatu lain."
Aeri cukup bimbang itu menerima niat baik pria tersebut tapi tak butuh lama untuk menerima niat baik tersebut.
"Terima kasih, saya janji saya akan mengembalikkan sepatu mas."
Aeripun memakai sepatu dari pria yang baru dia kenal meskipun kebesaran. Aeri lalu memandang pria tersebut dan memandang kagum ketika pria tersebut menampilkan senyuman manisnya.
"Kalau boleh saya tahu, mbak mau ke mana?"
"Saya mau ke terminal mas."
"Terminal? mbak yakin? Koper mbak besar, mendingan mbak saya antar. Insyaallah selamat sampai tujuan."
"Tidak usah mas. Terima kasih."

Karena Aeri berpikir, Bagaimana bisa pria yang baru ditemuinya langsung menawarkan tumpangan. Bukan maksudnya untuk berburuk sangka tapi ia hanya mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

"Tenang saja mbak, saya bukan orang jahat."

Pria tersebut mengeluarkan dompetnya dan mengambil kartu tanda kependudukannya.
"Perkenalkan mbak, nama saya Aldiantara Azka Langit Putra Simajaya."
"Saya Aeri."

Entah bagaimana cara Aldiantara untuk membujuknya namun gadis itu menuruti ajakannya. Setelah koper dimasukkan ke dalam bagasi mobil, mesin mobilpun dinyalakan. Aeri memberitahukan kota yang dia tuju.

Mobil mulai melaju menuju kota tujuan, membelah jalanan yang terhampar di depan. Di dalam mobil mereka hanya diam dengan pemikiran masing-masing, hingga suara lantunan dakwah dari ustadz terdengar di radio mobil memecah keheningan.

"Nah kalau mau dijomblangin. Kriterianya jangan susah-susah. Ingin mencai pasangan, ya sini biar saya yang nyomblangin,  Kriterianya apa? Yang tinggi sekian, putih, bersih, wajah korea gitu-gitu deh. Kalau begitu saya juga mau."

Tanpa disadari Aeri tersenyum mendengarkan ceramah tersebut. Karena kebetulan dia kpopers dan pecinta drama korea. Kriterianya juga hampir sebelas dua belas seperti oppa-oppa korea maka dari itu, dia belum pernah  pacaran. Karena menurutnya susah untuk mencari yang seperti idolanya.

Matahari hampir saja terbenam, mobil Aldiantara berhenti di tempat ibadah. Mereka menuju tempat berwudhu yang berbeda dan segera menunaikan kewajiban mereka.

"Semoga diberdayakan dengan laki-laki yang tak hanya pandai menjaga perasaan, tetapi juga pandai menjaga pandangan. Semoga dia selalu berada di lindungan-Mu. Berikanlah dia kesehatan serta keselamatan dalam perjalananya menemukan hamba. Semoga lancarkanlah urusannya, semoga dia menjadi pilot yang berwibawa, amanah dan selalu berada di jalan-Mu. Amiin."

Itulah sepenggal doa Aeri meskipun dia tidak tahu jodohnya kelak dengan siapa tapi setiap doanya dia akan menyelipkan kata 'Pilot' di dalamnya.

"Bi."

Aldiantara tersenyum hingga senyuman itu mampu menjalar sampai ke hati Aeri. Ini seperti mimpi baginya pasalnya dia sangat mendambakan sosok yang menemaninya nanti akan memanggil namanya dengan sebutan 'Bi'.

"Kenapa?" tanya Aldiantara. Aeri mengernyitkan keningnya, ini pasti kebetulan saja.

"Huh? Tidak apa-apa." Aeri menggeleng.

Aldiantara tersenyum dan menunduk untuk menatap wajah gugup Aeri yang cantik. Entah mengapa, dia selalu merasa senang saat berhasil membuat gadis itu bergerak tidak nyaman saat melihatnya.

Mereka berdua sudah sampai di kediaman rumah Aeri.  Aldiantara pun menurunkan koper milik Aeri.

"Saya saja yang bawa," ucap Aeri.
"Tidak usah, biar saya saja," ucap Aldiantara.

Mereka berdua langsung disambut oleh keluarga hangat Aeri. Aeri langsung memperkenalkan Aldiantara sebagai temannya dan Artiana langsung membuka tangan dengan terbuka. Aldiantara langsung memperkenalkan diri dan menyalami orang tua Aeri dengan sopan.

Aeri langsung pergi ke dalam kamar untuk meletakkan kopernya sementara Aldiantara berada di ruang tamu bersama kedua orang tua Aeri dan juga kakak iparnya.

"Kerja dimana Al?" tanya Yosa.
"Saya kerja di penerbangan, mas, " ucap Aldiantara.
"Pilot?" tanya Yosi.
"Iya mas," jawab Aldiantara.
"Nak Al, ayo diminum tehnya, " ucap Artiana dengan semringah. Pasalnya Aeri selama umur segini belum pernah membawa pria yang datang untuk menemui kedua orang tuanya.
"Iya tante, terima kasih," ucap Aldiantara sopan dan tetap menjaga sikapnya.
"Di sini hawanya sejuk ya om," ucap Aldiantara memecahkan kekikukannya.
"Iya," jawab Ardi bapak dari Aeri.
"Nanti kamu nginep di sini aja. Ada kamar yang kosong.

...

Semalam Aldiantara menginap di rumah keluarga Aeri dan hari ini dia berencana untuk kembali ke asal kotanya setelah mengantar Aeri ke kafe beberapa saat yang lalu untuk berjumpa dengan teman-temannya.

Aldiantara melajukan mobilnya dengan santai. Dalam perjalananya, Aldiantara terus menerus tersenyum tipis. Dia tidak mengira perjumpaannya dengan Aeri membuat getaran yang sebelumnya tidak pernah dia rasakan.

Bertemu dengan Aeri seperti takdir yang sudah dipastikan untuknya membuat harus segera mengikat takdir itu dan menjaganya dalam jangkauannya.

Namun Aldiantara tahu kalau Aeri adalah tipe gadis yang sulit didekati. Dia tidak tahu mengapa Aeri seakan begitu sulit didekati. Bahkan untuk mendapatkan nomornya begitu sulit. Untung, Aldiantara bukan tipe yang pantang menyerah. Aldiantara mengeluarkan ponselnya dan menghubungi ayahnya.

Albi ( My pilot )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang