5. Turning Point

4.3K 198 12
                                        

Saat ini, Aeri dan Ina duduk manis diantara teman-teman lainnya. Mereka menyimak ceramah yang disampaikan oleh pendakwah.

"Kalian yang di sini adalah anak-anak terbaik. Di sini ada beberapa anak dari kalangan bola, skate, parkur. Meskipun kita beda hobi tapi kita satu status, yaitu status jomblo fisabilillah," kata ustadz.

Dan seorang ikhwan berkemeja biru yang berada di barisan paling depan bertanya.

"Ustadz, katanya syariat pernikahan itu mudah tapi mengapa masih ada yang jomblo? Saya jomblo ustadz."

"Ha ha ha ha."

"Syariat pernikahan itu mudah yang menyusahkan calon mertua. Saya mau tanya sama makmum lovers. Boleh nggak bertanya pekerjaannya apa?" tanya pak ustadz.

"Nggak boleh," jawab imam hunters.

"Lalu mau dikasih makan apa istrinya? Syariat pernikahan mudah banget. Tinggal jabat tangan dengan mertua. Saya nikahkan sekian sekian dan dijawab saya terima nikahnya. Kalau salah bisa diulang jadi nggak seperti pin salah tiga kali di block.

Akad itu sederhana banget temen-temen. Hanya tinggal bilang seperti tadi, yang tadinya pandang-pandangan dosa sekarang jadi pahala. Beda banget status yang sendiri sama yang punya pasangan halal. Moral of storynya menikah sama pacaran bukan perbandingan nggak boleh dibandingkan, nggak perlu sholat istikharah karena sudah jelas yang satu halal yang satu haram, yang boleh jadi perbandingan yaitu nikah sekarang atau nikah nanti. Karena saya seorang yang nge-bully jomblo jadi nikah itu lebih cepat lebih baik, tapi tetap dipersiapkan, usaha, ikhtiar."

Aeri memutar-mutar cincin di jari manisnya dengan gusar. Dirinya tidak menampik jika akhir-akhir ini saat berdekatan dengan Aldiantara merasa gugup. Awalnya Dia tidak menyangka hubungannya dengan Aldiantara akan sejauh ini, melibatkan hati rasanya tidak mungkin.

Aeri sungguh mengalami fase penolakan karena keresahan hatinya sendiri tetapi setelah mendengar kajian ini sungguh mengurangi beban tentang ketidaksiapan pada jenjang yang lebih serius.

Aldiantara serius dengannya, bukankah dia sudah meminta izin pada orang tuanya dan bukankah dia juga sudah memberikan cincin manis ini sebagai tanda kepemilikkannya.

Ini juga keinginanannya sejak lama, dipertemukan dengan sang pembawa burung besi yang memang tipe idealnya. Hanya dengan pandangan pertama dan pertemuan pertama, dia sudah menjatuhkan hatinya begitu mudah.

Setelah kajian selesai, Aeri langsung bergegas menaiki taksi untuk pulang. Jarum jam hampir menunjuk jam delapan malam. Ketika matanya mengamati jalanan malam kota. Matanya tertumbuk pada pejalan kaki yang melihat ponsel.

Aeri baru teringat bahwa sepanjang kajian, ponselnya sengaja dia matikan. Aldiantara pasti sudah sampai. Dengan semangat, Aeri merogoh ke dalam tasnya. Butuh sekian detik untuk menyalakan ponselnya.

Begitu menyala, berbagai notifikasi bertubi-tubi muncul. Banyak telepon dari ayah Aldiantara.

Sejumput rasa khawatir menghantuinya, dengan berdebar-debar Aeri membuka pesan calon mertuanya.

"Aldiantara mengalami turbulensi. Hubungi mbak Janita untuk kabar terakhir dia. Ayah akan kabari lagi kalau ada kabar terbaru."

Tangannya langsung lemas begitu membaca pesan itu. Ketika Aldiantara resmi melamarnya, Aldiantara memberikan beberapa nomor emergency. Aeri bisa menghungi nomor tersebut jika terjadi sesuatu pada Aldiantara.

Aeri langsung mencari nomor Janita dalam kontaknya dan ketika dia menemukannya dia langsung menghubunginya.

"Halo."

"Halo, selamat malam. Maaf mengganggu, saya Aeri tunangannya Aldiantara Azka."

"Oh iya, kamu ingin tahu kabar Aldiantara?"

"Ya, apa yang terjadi?"

"Pesawat yang dikemudikannya mengalami turbulensi. Untungya tidak ada yang terjadi serius. Pesawat mendarat dengan selamat. Saat ini dia masih menjalani pemeriksaan."

"Pemeriksaan?"

"Ya, prosedur dari maskapai. Saya akan menghubungi mbak kalau ada perkembangan terbaru."

Aeri tidak tahu bagaimana caranya dia sampai di apartemennya. Rasanya ada yang menuntunya pulang karena otaknya saat ini tidak bisa berfungsi dengan baik.

Dia terduduk di sofa dengan tangan dan tatapan yang tertuju ke layarnya. Aeri tidak melakukan apa-apa selain menunggu kabar dari Aldiantara. Bahkan kantuk dan capek yang menggerogoti tubuhnya tidak dipedulikannya.

...

Aldiantara tengah duduk di kursi di sebuah ruang di Bandara. Setelah melewati pemeriksaan administratif, Aldiantara tidak langsung pergi. Dia menenangkan pikirannya paska kejadian di udara tadi. Dia duduk sendiri di sebuah ruangan khusus yang diperuntukkan untuk istirahat awak kabin.

"Kerja bagus kapten," ujar Hanafi yang langsung ikut duduk di samping Aldiantara.

"Lah ni orang berdua masih di sini, nunggu jemputan?" tanya Devan.

"Kamu nanya sama siapa?" tanya Hanafi.

"Tuh sama kapten yang sebentar lagi mau nikah," ujar Devan.

"Bener Azka, kamu lagi nunggu jemputan? Aeri?" tanya Hanafi penasaran.

Aldiantara tidak menjawabnya, pria itu sibuk dengan ponselnya.

"Al!!!!"

Aldiantara harus menjauhkan ponselnya dari telinganya begitu mendengar teriakan Aeri. Wanita itu langsung menganggkat teleponnya di dering pertama. Aldiantara bisa membayangkan jika dia sedang menunggu telepon darinya.

Aldiantara siap untuk menjawab semua cercaan pertanyaan dari Aeri namun yang dia dapat adalah suara isakan tangis dari gadis itu. Aldiantara yang sedari tadi sudah menyiapkan berbagai pertanyaan dari Aeri kini terdiam. Dia kehilangan orientasi waktu selama mendengarkan Aeri menangis.

"Kamu bikin aku takut," ucap Aeri.

"Maaf."

"Kamu baik-baik saja?"

"Iya, nggak ada sesuatu yang serius. Aku baik-baik saja."

"Aku nggak percaya sampai aku lihat sendiri. Bisa video call?"

Aldiantara tertawa kecil mendengarkan pertanyaan Aeri.

"Kenapa malah tertawa? Aku takut!" Kesal Aeri. Entahlah, perasaannya campur aduk.

Aldiantara pun memutuskan untuk videocall dengan Aeri sesuai keinginan gadis itu. Aldiantara menyakinkannya untuk sekian kalinya bahwa dirinya baik-baik saja dan meminta gadis itu untuk beristirahat karena langit semakin gelap.

Aeri akhirnya menutup videocall tersebut dengan janji akan mencoba istirahat. Setelah mendengar bahwa dia begitu khawatir membuat Aldiantara takut.

Getaran ponsel membuat Aldiantara kembali menatap layar ponselnya. Itu adalah sebuah pesan dari Aeri.

"Sekarang aku bisa lebih paham kehadiranmu dan itu membuatku takut kehilangan."

Seulas senyum terbit di wajah tampan Aldiantara. Pesan terakhir dari Aeri, berhasil menutup bagian kecil dari hatinya yang takut dia akan meninggalkannya.

Aldiantara lantas meninggalkan tempatnya dan meninggalkan Devan dan juga Hanafi yang sedari tadi dia abaikan. Seolah tidak terjadi apa-apa beberapa jam yang lalu. Langkahnya begitu ringan dan pasti.

Albi ( My pilot )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang