6. Cherish Moment

4.2K 188 5
                                    

Setelah memeriksa keadaan pasien yang telah di operasinya. Alifa dan Aeri kembali ke ruangannya. Mereka menghempaskan tubuhnya di sofa yang berada di ruangan melepaskan penat yang menyerang.

"Aduh, capek banget badan jadwal operasi minggu ini padat banget."

Aeri mengangguk mengiyakan pernyataan Alifa.

"Ri, direktur sudah setuju atas pengunduran kamu?"

"Udah Fa, satu bulan lagi aku sudah nggak kerja di sini lagi."

"Yeah, aku nggak ada temannya."

"Kan masih ada dokter yang lain. Dokter Dean juga ada."

Alifa sibuk memperhatikan Aeri dari samping, heran karena temannya ini senyum-senyum sendiri. Baru pertama kali dia melihat sahabatnya tersenyum hanya dengan bertukar pesan.

"Aku ke kantin dulu, kamu mau nitip apa?"

"Nggak ada."

Alifa pun pergi dan ruangan itu pun sunyi karena Aeri yang rebahan di sofa setelah beberapa menit lalu membalas pesan dari Aldiantara. Suara getaran dari ponselnya terdengar nyaring di sana. Dengan perasaan yang sedikit gugup Aeri menerima panggilan tersebut.

"Hai sugar, " ucap Aldiantara.

"Lagi istirahat?"

"Iya honey. Kamu kangen aku nggak?"

Aeri cukup lama untuk berpikir sebelum mengatakan, "Kangen."

Aeri sambil menepuk jidatnya karena mulutnya yang keceplosan. Dirinya sangat malu. Aldiantara tersenyum saat mendengar suara Aeri menurutnya menggemaskan.

"Cherry, sekarang kamu lagi apa? Aku nggak ganggu kan?"

"Aku lagi persiapan mau pulang. Kamu lanjutkan saja istirahatnya, pasti kamu capek."

"Aku mau dengar suara kamu, Flavour."

"Aku tutup ya."

Aldiantara langsung gelagapan. "Tunggu Vanilla, aku mau dengar suara kamu lebih lama."

Aeri terdiam sejenak, mencerna ucapan demi ucapan dari Aldiantara.

"Sweety, kok diam sih."

"Al kamu kok panggil aku dengan sebutan honey, sugar, flavour, vanila dan sekarang cherry, nggak sekalian saja panggilnya cake."

"Kamu manisnya seperti ice cream cake."

Sambungan telepon pun terputus.

"Kamu mau pulang sekarang?"

Aeri langsung terloncat mendengar panggilan Aldiantara yang duduk tenang di balik kursi kemudi. Ketika melihat Aldiantara di depannya wajahnya tampak lega. Ekspresi lega di wajah Aeri menghilang, berganti dengan raut yang tidak bisa dibaca Aldiantara sekalipun.

Dengan tiba-tiba air matanya menetes begitu saja. Aldiantara yang melihatnya langsung terkejut dan buru-buru keluar dari mobilnya. Menyembunyikan tubuh kecil itu dibalik tubuhnya. Memberikan tepukan  untuk menghantarkan kehangatan.

Kejadian kemarin yang memacu Aeri menjadi seperti ini. Aeri seakan bersikap protektif dan juga takut kehilangan.

"Ternyata kamu benar-benar merindukanku?"

"Kamu benar-benar membuatku ketakutan."

"Maaf."

"Nggak usah minta maaf. Aku menerima kamu berserta resikonya."

Aldiantara tersenyum dan Aeri pun ikut tersenyum tipis. Aldiantara mengusap sisa jejak air mata yang sangat jelas itu. Tidak ada perempuan normal yang ingin menggadaikan hidupnya untuk khawatir setiap saat bersama Aldiantara namun Aeri berbeda. Tidak ada yang bisa menandinginya, betapa bahagianya saat Aeri bisa menerimanya. Selamanya Aldiantara akan mendekapnya.

"Bulan depan, kita menikah ya."

"Huh?"

"Soal pernikahan kita, kamu punya impian pernikahan seperti apa?"

Aeri masih terdiam tak menyangka bahwa pernikahan mereka akan segera diadakan. Aeri pikir mereka akan menikah beberapa bulan lagi namun ternyata Aldiantara malah memajukannya.

"Ri, kamu dengarkan suaraku kan?"

"Ah..iya. Sebenarnya aku ingin pesta yang sederhana. Bahkan, kalau cuma akad nikah biasa saja yang cuma dihadiri keluarga inti."

"Kamu yakin? Kamu nggak mau melakukan sesuatu yang spesial?"

Panggilan terputus saat Aeri sudah memutuskan konsep dari pernikahan mereka. Saat ini Aeri sudah berdiri di depan pintu masuk rumah sakit menunggu Alifa yang ke tempat parkir untuk mengambil mobil. Dean yang melihatnya langsung menghampiri.

"Mau pulang?" Suara Dean sukses mengejutkan Aeri.

"Eh dokter Dean, iya ini mau pulang."

Bagi Dean, sejak saat dimana dia melihat aksi Aeri untuk pertama kalinya saat di UGD. Saat dia duduk diranjang pasien dan menahan darah dari Arteri sampai ke ruang operasi. Dia merasa, dia sangat keren sejak saat itu dia ingin sangat dekat dengannya.

"Besok siang kamu ada acara?"

Belum sempat Aeri menjawab pertanyaan dari Dean, Alifa sudah datang dengan mobilnya. Dia langsung pamit untuk pergi. Dean hanya bisa menatap kepergiannya.

Mobil mereka meninggalkan rumah sakit. Saat lampu lalu lintas berwarna merah, mobil merekapun berhenti.

"Tadi dokter Dean ngomong apa? serius banget."

"Enggak kok, cuma tanya mau pulang?"

"Oh."

"Cemburu ya?" Tebak Aeri menggoda.

"Apaan sih, nggak. Lagian aku siapa yang cemburui dia."

"Kalau suka bilang aja."

"Nggak! Siapa yang suka."

Aeri hanya tersenyum tipis dan langsung melihat pesan yang baru saja masuk. Dia membaca pesan itu dan pipinya langsung bersemu merah diiringin senyum tersungging di sana. Detik itu juga, Aeri mengetikkan balasan berisi pesa yang sama.

"Aldiantara?"

Aeri mengangguk sambil tersenyum kecil.

"Aneh nggak sih, aku masih suka deg-degan dan malu setiap kali bersama dia?"

"Nikmati saja, itu namanya jatuh cinta."

"Aku takut kehilangannya."

"Daripada selalu berpikir untuk kehilangannya, kenapa tidak percaya saja sama dia."

"Aku sudah percaya tapi masih saja takut."

"Apa yang membuatmu takut?"

"Pekerjaannya."

"Bukannya salah satu faktor, kamu menerimanya karena pekerjaannya."

"Ya, tapi setelah dijalani ternyata cukup berat juga."

"Daripada mikir takut kehilangannya karena pekerjaannya. Kenapa kamu tidak benar-benar menikmati setiap momen bersamanya."

Albi ( My pilot )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang