Melupakan Kata; Satu

176 11 1
                                    

Entah kemana semesta membawanya pergi. Langit redup, tak secerah biasanya. Yang tampak hanya abu kehitaman terlukis muram di horizon. Matahari telah hilang, dan tergantikan rintikan hujan.

Di hari Senin ini, terhitung sejak pukul 06.20 hujan turun membasahi bumi pertiwi. Dan secara otomatis membuat upacara rutin setiap Senin yang seharusnya dilaksanakan pukul 06.30 dibatalkan karena hujan turun cukup deras.

Dan kebetulan secara mendadak seluruh guru ada rapat penting di kantor guru. Tentu salah satu surga dunia bagi para murid sekolahan, termasuk SMA Nusa Bangsa.

Sebenarnya para murid tadinya disuruh belajar sendiri dikelas masing masing, tapi akhirnya nihil. Mereka semua malah menangkringkan kakinya di kantin sekolah dan sama sekali tidak ada yang berada dikelas. Kecuali para anggota OSIS yang sedang rapat juga, tentunya diruang OSIS.

"Edo kebiasaan banget sih nyalipin antrian! Baris dong!" teriak Aretha pada lelaki yang sekarang manggantikan posisinya dibarisan depan saat memesan makanan.

“Bodo amat. Mbok Di, pesen mie kuahnya satu ya. Spesial buat Edo ganteng.” setelah berujar demikian Edo melipir dari barisan dan membuat barisan ilegal. Alias barisan untuk dirinya sendiri, membuat Aretha menatap sinis kearah Edo walaupun tidak dihiraukan juga oleh remaja bertubuh bongsor itu.

Setelah memesan, gadis itu lantas melangkah minggir memberi ruang pembeli dibelakangnya untuk memesan makanan masih dengan netra yang melirik tajam pada Edo.

“Mbak Aretha tadi mana? Mie kuah 4 mangkuknya sampun, Mbak.” mendengar mbok Di berujar begitu, Aretha langsung mendekat mengambil pesanannya.

“Pantesan gendut, sekali makan 4 mangkok. Ckckck, hebat lo, Tha.” ejekan Edo kembali terdengar saat Aretha mengambil mangkuk beralaskan nampan pesanannya sambil memberikan beberapa lembar uang kertas kepada mbok Di.

Sebenarnya 4 mangkuk mie ini juga jelas bukan hanya untuk Aretha makan sendirian. Ini untuk Aretha dan ketiga temannya yang sudah duduk disalah satu kursi kantin. Biar duduknya nggak diambil anak lain mereka berempat melakukan hompimpa untuk menentukan siapa yang pesan makanan, dan kebetulan Aretha yang kalah.

“Sadar diri kali, Do. Inget lipetan perut lo tuh!” kemudian Aretha pergi setelah puas membalas ejekan Edo dan menerima uang kembalian dari mbok Di.

Meskipun sudah berjalan jauh samar-samar Aretha masih dapat mendengar balasan dari Edo akibat riuhnya kantin.

“Perut gue seksi kayak bang Nial Horan dibilang ada lipetannya, yee dasar Aretha Tarulina!”

Begitulah kira-kira sumpah serapah Edo yang tak dihiraukan Aretha hingga ia berhenti dimeja tempat ia serta kawan-kawannya menikmati nikmatnya hidangan.

“Laper banget ih gue. Thanks ya Tha." ujar Valda berbinar sembari membantu Aretha membagikan mie kepada temannya.

“Sama-sama.”

Aretha duduk setelah membagikan mie kepada para temannya. Baru saja hendak menikmati mie kuah buatan mbok Di, tiba-tiba perasaan mengganjal mendatanginya. Rasa-rasanya ada yang kurang.

“Lah, minumannya mana?”

Ujar Aretha begitu menyadarinya. Seketika temannya yang lain pun ikut tersadar.

“Eh, iya, kelupaan.” Ucap Dania.

“Ya udah, siapa nih yang mau beli?” tanya Aretha, berusaha memberi kode teman-temannya. “Masak gue lagi.”

“Ya udah gue aja sini yang beli.” ujar Ayana tiba-tiba. Ayana ini sebenarnya yang paling peduli dan perhatian satu sama lain. Karena tahu Aretha lelah makanya dia menawarkan diri untuk membeli minuman.

“Ay, sekalian titip ya balikin ini nampan ke mbok Di, hehe.” Aretha cengengesan sambil menyerahkan nampan tadi ke Ayana dan mendapat balasan anggukan sebagai sarat meng-iya-kan sekaligus senyum lembut dari Ayana.

“Val, tugas ngeprint dari Bu Rani udah belum?” tanya Dania ke Valda. Diantara mereka, yang satu kelas hanyalah Dania dan Valda di kelas XI IPS-4. Dan sisanya terbagi sendiri-sendiri di kelas IPA. Kalau tentang bagaimana mereka bisa dekat, itu sudah dari SMP.

“Tinggal ngeprint doang, sih. Dikumpulinnya besok, kan?” tanya Valda yang langsung mendapat anggukan dari Dania.

“Padahal ini masih semester awal kelas dua, gue udah ditimpukin bejibun tugas aja.” Kini giliran dari kelas IPA yang mengeluh, Aretha.

“Nih, minumnya, gue samain aja ya semuanya.” Ayana membagikan tiga minuman botol teh manis kepada Dania, Valda, dan Aretha.

Baru saja Ayana mendaratkan bokongnya di kursi tempat semula ia duduk, tiba-tiba terjadi suasana ricuh dari arah pintu masuk kantin.

Yang dari arah pintu kantin tetap ricuh, sedangkan yang dari arah lain hanya melongo kebingungan.

“Pada kenapa, sih? Ada yang berantem apa gimana, ricuh banget.” Ujar Aretha santai sambil meniup-niupkan mienya di garpu dan terus mengamati keadaan pintu masuk kantin.

Akhirnya terlihat perwakilan salah satu anak mengecek kedaan pusat kericuhan terjadi.

“LARI WOI ADA PAK FANDI KESINI SAMBIL BAWA PENGGARIS KAYU.”

Sontak kini dari segala arah manapun rusuh, ada beberapa anak yang mulai berlarian ke arah belakang.

“Udah lewat belakang juga aja, ayo buruaannn!” kata Aretha kelimpungan kemudian langsung berlari sembari diikuti oleh Ayana, Valda, dan Dania.

Yang kabur dari arah kantin saja sudah banyak, kini malah ditambah oleh anak-anak yang berlari dari lapangan basket. Kalau lari kebelakang pastinya melewati lapangan basket, belakang lapangan basket merupakan lahan kosong yang masih termasuk bagian dari SMA Nusa Bangsa dan pembatas diantara keduanya hanyalah tembok yang cukup tinggi dan satu gerbang tinggi terkunci.

“NGAPAIN BERHENTI?! BURUAN LARI BEGO DIBELAKANG ADA PAK FANDI!”

Tiba-tiba anak-anak yang berlari dibarisan depan berhenti, sontak saja membuat barisan dibelakangnya kelimpungan bukan main. Gimana kalau ketahuan sama Pak Fandi? Pak Fandi itu termasuk guru killer di SMA Nusa Bangsa.

“BENTARLAH ITU DARI RUANG GURU ADA PAK SIS KE SINI JUGA BEGO!”

Daging cincang semua kalau begini. Maju kena mundur juga kena. Diantara keduanya tak ada toleransi pula.

Tiba-tiba beberapa anak laki-laki yang merasa frustasi mulai menaiki tembok lapangan basket satu-persatu, mereka nekat memanjat pembatas antara lapangan belakang dengan pemukiman warga.

“EH GILA LO YA! TURUN WOI JANGAN LOMPAT KESITU!”

“Shenna?” Valda berucap kaget melihat keberadaan gadis yang tiba-tiba berteriak melarang para anak laki-laki melompat ke atas tembok. Ayana, Aretha, juga Dania sama kagetnya dengan Valda

“Lah kalian dikantin juga? Belum balik ke kelas?” tanya Shenna sambil menatap risau kearah teman-temannya.

“Iya. Gimana dong ini, mana kita tau kalau ada Pak Fandi sama Pak Sis gini.” jelas Ayana sedikit putus asa. Seketika Shenna bertambah risaunya.

Sambil memedulikan teman-temannya Shenna juga sesekali meneriaki anak-anak yang masih berusaha lompat tembok. Ada beberapa diantaranya sudah berhasil lolos. Sedangkan barisan disini masih berhenti dan malah ricuh berdebat sendiri.

By the way, Shen, lo kok disini?” tanya Dania memotong saat Shenna meneriaki anak-anak yang lompat.

Shenna berusaha menjawab pertanyaan Diana sambil menghentikan anak-anak yang lompat, "Iya, tadi soalnya gue--”

“BERHENTI! TURUN KALIAN SEMUA! TURUN!” habislah semuanya, Pak Fandi dari arah belakang sudah tiba. Seketika semua murid terdiam, termasuk Shenna dan kawanannya.

“Masih mau lari?” Pak Sis yang datang dari arah depan pun berhasil menghentikan anak-anak barisan depan yang berusaha kabur.

•••

tertanda

sudutharapan

Melupakan KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang