Melupakan Kata; Lima

57 4 0
                                    

"Om kok dimatiin sih, kan Kalfin belum ngomong sama Shenna." protes Kalfin begitu melihat adik dari ibunya mematikan sambungan teleponnya dengan Shenna.

"Jadi kamu cuma mau modus doang gitu? Sampai maksa om buat bohong ke Shenna jadi ayah kamu? Bucin kamu."

Benar, yang barusan telpon dengan Shenna adalah omnya Kalfin, bukan ayahnya. Sepulang dari rumah sakit tadi Kalfin minta diantar Dito serta Ardi menuju kafe omnya dan langsung memaksa pamannya itu untuk berpura-pura menjadi ayahnya lalu berdrama meminta pertanggung jawaban pada Shenna.

"Lagian Om beneran nggak kaget atau khawatir gitu kalo Kalfin babak belur gini? Om biasanya juga suka nuduh-nuduh Kalfin habis berantem kan kalo pulangnya bonyok gini." protesnya balik dan seketika membuat pria paruh baya itu mengajukan bantahan keras.

"Iya tapi yang ini kasusnya kan jelas, kamunya nolongin cewek, bukan babak belur. Om sih kagetnya tumben gitu kamu babak belurnya karena nolongin cewek masih gemes-gemes gitu, kan biasanya kalo nolongin cewek palingan juga nolongin ibu-ibu hampir dicopet."

"Gak tau ah, Om. Kalfin mau pulang aja." lalu Kalfin keluar begitu saja dari ruangan omnya dan duduk di salah satu kursi kafe. Jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah sembilan malam, tapi ia masih enggan kembali ke apartemen tempatnya tinggal.

"Kalfin? Hai." Tiba-tiba seorang gadis dengan membawa sebuah gitar yang dibungkus rapi dalam wadahnya datang dan ikut duduk di sebelah Kalfin.

"Oh, hai, Va. Baru selesai tampilnya?" tanya Kalfin pada gadis yang akrab disapa Adeeva yang kini duduk disebelahnya. Adeeva ini setiap hari Senin, Kamis dan Sabtu biasanya tampil perdana di kafe omnya dengan menunjukkan kemampuan menyanyinya yang diiringi alat musik, mungkin kebetulan hari ini pengiringnya adalah gitar kalau dilihat dari bawaan Adeeva.

"Iya nih, eh, btw itu tangan lo kenapa?" Kalfin yang ditanyai demikian memandangi sejenak tangannya yang dibalut perban tersebut.

"Habis nolongin orang tadi, Gak sengaja kena pisau yang nyerang." jelasnya singkat langsung menarik perubahan ekspresi gadis disebelahnya.

"Seriusan? Pantes tadi kok gue lihat lo diboncengin sama temen lo, kan biasanya naik peda motor sendiri. Eh, btw, terus sepeda motor lo gimana?" Adeeva bertanya lagi.

"Tadi Dito sama Ardi telpon temen gue yang lain buat ngambil motor gue di warung depan sekolah. Jadi sekarang masih ditemen gue yang ngambil, besok kali disekolah gue baru temu jumpa sama motor gue." jawab Kalfin sambil melihat-lihat keadaan sekitar kafe. Adeeva yang menerima jawaban dari Kalfin manggut-manggut perlahan.

"Terus lo balik ke apartemen naik apa?" ini sudah sekian pertanyaan yang diajukan oleh Adeeva pada Kalfin.

Naik buroq gue neng, naik buroq online. Puas lu? Batin Kalfi dalam hatinya merasa jengah lama-lama.

"Ya kan masih ada banyak angkutan, Va. Ini juga belum malam-malam amat. Ya udah ya gue balik duluan sama mau nyari taksi didepan."

"Bareng boleh nggak, Fin?" pertanyaan kesekian kali dari Adeeva ini membuat Kalfin berhenti saat baru akan melangkah.

"Kalau bareng keluar nyari taksi gak apa-apa, tapi kalau bareng pulang satu taksi nggak dulu ya." tolak Kalfin yang direspon Adeeva dengan senyum kecilnya.

"Ya bareng nyari taksinya lah, Fin, orang tujuannya beda juga. Lagian mana mau sih lo satu angkutan sama cewek. Gue juga tau kali Fin lo itu orangnya gimana." Adeeva bangkit sambil mengambil gitarnya lalu keluar kafe diikuti oleh Kalfin dibelakangnya.

Keduanya berdiri dipinggir jalanan kota yang cukup ramai malam itu, tangan Kalfin tiba-tiba terangkat menyetop sebuah taksi, "Va, lo masuk gih." ucapnya dengan mengendikkan dagu ke arah taksi setelah melirik Adeeva yang kini tersenyum lebar, "Oke. Makasih ya!" Kalfin hanya merespon dengan anggukan kecil.

Setelah taksi yang membawa Adeeva pergi, Kalfin merentangkan tangan kirinya dan detik berikutnya sebuah taksi telah berhenti didepannya. Kalfin segera masuk serta menyebutkan tujuannya.

Ia ingin segera pulang, badannya terasa remuk.

Kepala Kalfin menyandar pada jok mobil, matanya bergulir menikmati pemandangan diluar jendela lantas ia memejamkan netranya untuk menghilangkan pegal sesaat.

Melupakan KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang