3. Fahri, Where Are You?

2.7K 132 0
                                    

Pagi datang. Suara burung bernyanyi riang. Aku terbangun dalam sepi. Arya dan Salsa tak ada di pelukan, mereka menginap di rumah bapak.

Ngulet bentar. Eh, tahukah kamu, ngulet adalah mekanisme tubuh untuk mendapatkan oksigen yang baik untuk kesehatan. Kata siapa? Kata mbah google. Ha ha ha!

Sholat subuh, mengucap syukur karena masih diberi kesempatan memperbaiki diri, sehari lagi. Hidup itu anugerah, kawan.

Jangan pernah berpikir untuk bunuh diri ya, sesulit apapun hidupmu. Karena di belahan dunia sebelah sana ada manusia yang menangis dalam doanya, meminta agar diberikan kesehatan, agar bisa hidup paling tidak sampai hari ini.

Rei, Rei... Pagi-pagi udah melankolis. Hmmm...
Buka HP, ingat pesan dari Fahri semalam.

Eh, kosong? Tak ada pesan balasan Fahri. Agak aneh ini.

Ada satu pesan, dari Adam.
[Udah nyampe rumah. Aman.] Tanpa basa basi seperti biasa. Huft..

Kuputuskan menelpon Fahri. 8 kali nada sambung, tak diangkat.

[Boy, gue ke rumah lo ya, setengah jam lagi] ketikku cepat-cepat, lalu mandi kilat.

---

Tiba di depan rumah Fahri, tak ada tanda-tanda kehidupan. Lampu terasnya menyala. Koran pagi tergeletak sembarangan di balik pagar.

Kupencet bel. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tak ada jawaban. Ada denyar aneh di dalam dadaku. Seperti alarm yang menyentak. Fix, something wrong with my best friend.

Aku turun dari motor, terus mengawasi rumah Fahri. Siapa tau dia tiba-tiba nongol. Harapanku buyar pada menit ke 15. Terlalu lama menunggu. Kuketik cepat pesan untuknya.

[Fahri, lo di mana?]

[Kabarin gue, ya..]

[Kalo becanda, ini ngga lucu, Boy...]

Kutatap terus layar HPku, berharap ada balasan. Tidak ada. Sahabatku menghilang.

Aku pulang dengan perasaan tak tentu. Tiba di rumah, aku duduk di teras depan, tempat aku dan Fahri biasa ngobrol sejak kami masih remaja.

Mengingat jaman dulu, saat pertama kenal Fahri.

---

Saat itu aku baru masuk SMP di kota Jakarta. Aku siswa baru, kelas 1, pindahan dari Ujung Pandang. Kami sekeluarga pindah ke pulau Jawa mengikuti bapak yang pindah tugas.

Aku culun sekali. Minder. Teman-teman berbahasa logat khas kota ini. Lo-gue, lo-gue. Wajah dan gaya mereka pun kece baday. Haish!

Hari pertama akan berangkat sekolah, aku menatap bayangan diriku di depan cermin.

Anak perempuan yang sangat culun, bahkan belum mendapatkan haid pertamanya. Rambut dikuncir satu, jidat lebar, berkacamata. Kulitku putih pucat, dengan susunan gigi yang berantakan. Gingsul di sebelah kanan. Ada bekas luka di alis kanan, bukti bahwa aku pernah brantem dan kena pukul di bagian itu. Ah, masa lalu.

Ibu menggamit lenganku "ayo, jangan dandan lama-lama, nanti terlambat sekolah". Kutatap ibuku yang cantik, tersenyum menyemangati. Senyum ibu menular. Segera saja aku balas tersenyum, semangat jadi berkobar.

Aku masuk kelas 1-D. Sifatku yang santai (padahal minder) ditambah otak yang cukup cerdas membuatku segera punya banyak teman.

Aku mengikuti ekskul Palang Merah Remaja, semacam dokter kecil di sekolah. Tugas utama anggota PMR adalah berdiri di barisan paling belakang saat upacara bendera, berjaga-jaga kalau ada siswa siswi yang pingsan. Kami juga berjaga di UKS, kalau ada yang sakit atau pingsan, segera dibawa kesana untuk diberikan pertolongan pertama. Keren ya..

Upacara bendera hari Senin. Saat itu aku bertugas menjaga ruang UKS. Sedang menata ruangan agar lebih rapi, tiba-tiba terdengar keributan. Ada siswa yang berantem. Biasa itu. Segera kusiapkan betadine, plester luka, dan perban.

Anak yang jadi pelaku perkelahian masuk UKS.

Namanya Fahri Syailendra, anak kelas 2-A. Tubuhnya kurus, tinggi, tapi terlihat kuat. Saat itu terlihat noda darah di wajahnya. Dia dibaringkan di tempat tidur, lalu oleh ketua PMR, aku diminta mengurus lukanya.

Dia diam saja, napasnya masih memburu. Dia masih sangat marah.

"Kak, lukanya aku bersihkan yaaa", kataku memulai percakapan.

Dia melirikku sebal "iya. Cepetan."

Kubasuh kain kasa dengan cairan khusus, usap lukanya, sambil kuperhatikan apakah luka di atas alisnya itu perlu dijahit atau tidak. Syukurlah, lukanya ringan.

"Ngga perlu dijahit, kak. Aman", aku senyum berharap senyumku menular.

Dia berdiri mendadak, langsung bergerak menuju pintu keluar. Langkahnya ditahan oleh teman-teman PMR lain. "Hoi, udah beres belum lukanya?", tanya Andi ketua PMR kami.

Fahri mengedikkan bahu ke arahku, "beres, kata dokter culun itu, luka gue aman, ngga perlu dijahit".

Aku berdiri di belakangnya dengan masih memegang kapas berbalur obat merah.

"Kak, belum dipakein obat", kataku.

Andi mendorong tubuh Fahri pelan, "tuh, kata dokter culun, lo belum boleh keluar".

Fahri berbalik ke arahku, mimik wajahnya terlihat tegang.

"Cepetan kalo gitu, gue mau balas anak yang tadi nonjok muka gue!", disodorkannya muka, asal saja ke arahku, tatapan matanya menuntut. Tak sabaran. Ck ck ck..

Langsung kuusap lukanya, lalu menempelkan plester luka secepatnya. Wajah Fahri waktu itu dekaaaat sekali dengan wajahku. Sepasang mata gelap, hidung mancung, alis yang tebal.

"Muka lo kenapa merah? Naksir gue?", tiba-tiba dia nyeletuk begitu saja.

Aku jawab santai "ngga, napas lo bauk".

Dia diam sejenak, lalu tertawa berderai. Suara tawa yang merdu.

"HAHAHAHAHAHA, sembarangan!", katanya sambil berlalu tanpa ada yang bisa mencegah lagi.

Gestur tubuhnya menarik. Aku langsung menyukainya.

---

Sorenya, kami bertemu kembali di kantin. Aku sedang menikmati mie ayam kantin yang nikmat, tiba-tiba ada yang duduk menghempaskan diri di sebelahku. Dia Fahri.

"Dokter culun. Siapa nama lo?" telapak tangannya mengarah padaku.

"Reina", kubalas jabat tangannya. Lalu dia memesan mie ayam yang sama dan menikmatinya di sebelahku.

"Tinggal dimana, Rei?", dia bertanya dengan mulut penuh.

"Daerah Patra, naik angkot 20 menitan", jawabku.

"Lah, rumah gue juga di situ, rumah lo jalan apa?".

"Jalan Borobudur" jawabku lagi.

"Dekeeet. Rumah gue di Jalan Prambanan", dia nyengir. Eh, ada gingsulnya juga, sebelah kiri.

"Ya ya ya", jawabku sok asik.

Pasti ujung-ujungnya ngajak pulang bareng, batinku ge er sekali.

Selanjutnya dia menyeruput teh botol dingin di hadapannya sambil cepat berlalu.

"Gue balik kelas dulu ya, Rei!", dia pergi tanpa melambaikan tangan.

Fix. Aku ge-er. Nasib.

----

Kembali ke teras depan rumahku, aku yang berusia 30 tahun, masih berpikir tentang Fahri yang tiba-tiba hilang tanpa kabar.

17 tahun aku bersahabat dengannya. Tak pernah sekalipun dia hilang tanpa kabar seperti sekarang. Biasanya dia selalu ada, kapanpun. Seperti aku yang selalu ada untuknya.

Kuseret langkahku ke dalam rumah. Ingin tidur. Rasanya lelah. Kuharap saat bangun nanti, sudah ada kabar dari Fahri.

(Bersambung....)

KISAH WANITA BIASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang