Fahri benar-benar menangis kali ini. Kedua tangannya dibenamkan menutupi wajah.
"Rei, ini udah 3 hari, gue tadi jemput Shinta ke rumah ibunya, tapi dia ngga ada. Kata ibunya, Shinta sudah dua hari dinas luar kota.", suara Fahri terdengar berat.
Aku diam. Perasaanku sungguh tak enak. Aku tadi ketemu Fahri di kedai kopi langganan kami, setelah membaca pesan singkatnya yang tanpa basa basi.
[Rei, ketemu yuk. Tempat biasa. Setengah jam lagi]
Mata indah yang biasanya selalu bersinar jenaka itu saat ini seperti pudar.
"Gue diajak ngomong sama bapaknya, Rei. Katanya Shinta udah bilang, mau minta cerai. Ngga kuat hidup sama gue yang terlalu mengekang. Anna boleh ikut gue katanya.. Dia mau pergi, ninggalin gue dan Anna!", suara Fahri sekarang terdengar pecah. Tangisnya tumpah.
Aku masih tak sanggup berkata-kata. Bingung.
Sebagai ibu, aku tidak paham dengan jalan pikiran istri Fahri, ingin bercerai dari suaminya, dan bahkan merelakan anak semata wayangnya ikut suami?
"Boy, jangan nangis gitu lah.. Udah tuaaa.. Masa nangis terus", aku berusaha bercanda. Setengah candaanku sifatnya serius, lama-lama rasanya jengah menatap seorang lelaki dewasa bertubuh tinggi dan tegap, menangis di hadapanku. Atau mungkin hatiku yang terlalu keras.Fahri menarik napas panjang. Diangkatnya wajah menatapku.
"Lo tau ngga, kata bapaknya, sebelum berangkat dinas luar, Shinta mukul Anna. Gara-gara Anna nangis ngga mau ditinggal.. Lo bayangin, Anna ditampar sampe terjengkang saking kerasnya!"
Aku benar-benar diam sekarang.
"Gue harus gimana, Rei? Shinta ngga balas pesan. Ngga angkat telpon gue juga"
"Pertama, ambil Anna. Bawa pulang. Lalu lo hubungi Shinta terus, setiap saat. Lama-lama juga dia bakal angkat telpon lo. Tongkrongin di depan rumah ibunya. Dia pasti pulang kesana, kan? Saat ketemu Shinta, lo ngga boleh nangis gini. Tunjukkan bahwa lo lelaki kuat. Pantang menyerah. Bawa dia pulang ke rumah kalian. Beliin bunga kek, kalung, cincin berlian kek..", usulku ganas.
Dia mengangguk-angguk.
"Tapi, rasanya gue udah capek Rei. Seperti lingkaran setan. Setahun dia bisa begini 5-6 kali. Gue capek. Kasian Anna, jadi sasaran kemarahan ibunya..", Fahri membuang pandangannya keluar jendela.
Aku bengong.
"Maksud, lo..? Apa maksud lo, Fahri Syailendra?" Kusebut nama lengkapnya, kebiasaanku saat meminta penjelasan detail padanya.
Dia menggeleng. Astaghfirullah, bisiknya..
"Gue mau pulang, Rei. Makasih udah nemuin, udah legaan sekarang", ucapnya sambil menyunggingkan senyum yang ngga ada bagus-bagusnya.
"Oh, no..." dadaku tiba-tiba terasa dingin. Sedih.
---
Seminggu sudah tak ada kabar dari Fahri. Akupun tak menghubunginya. Aku anggap kasusnya sama dengan yang lalu-lalu. Shinta akan kembali ke rumah, Fahri akan bersikap lebih baik, dan mereka akan baik-baik saja.
Siang itu aku sedang rapat di kantor. HPku bergetar. Ada pesan masuk di grup Para Sahabat.
[Nata: Hoi! Malam Sabtu neehh! Nongkrong dimana kitaaahh?"]
[Diny: Hayuk! Starbak?]
[Rafi: Jah, Starbak. Mahal. Ngga kenyang! Males..]
[Melly: Warung Padang aja, kalo pengen kenyang!]
[Nata: Hahaha.. Kafe Menteng aja gimana, tempat biasa]
[Diny: okeh. Jambre?]
[Aku: abis magrib, gue cuss dari kantor]
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH WANITA BIASA
RomanceCerita tentang kehidupan wanita Single Parent alias janda beranak 2, bernama Reina. Kadang cinta tak cukup hanya dengan rasa.