PERNIKAHAN KEDUA
Handphone-ku berdering kencang, nama Diny muncul di layar. Segera kuangkat dengan hati senang.
"Reeiii! Gue udah baca pesan lo. I'm so happy for you both!" teriaknya nyaring dari ujung sana.
"Makasih, Din ... Doain lancar ya," jawabku malu-malu.
"Tentunya! Kabarin ke yang lain, boleh?"
"Boleh."
Tak lama Nata, Melly, dan Rafi sudah bergantian menelponku. Para sahabat mengucapkan selamat atas pertunanganku dengan Fahri. Semua kujawab dengan tersipu. Aku malu, tapi bahagia.
Bahagia karena setelah hampir 25 tahun persahabatan, akhirnya aku dan Fahri akan terikat dalam pernikahan yang suci.
Malu, karena di usia ke-36, aku merasa seperti gadis muda yang dimabuk cinta. Sejak lelaki itu akhirnya menyatakan perasaan, dan kami bertemu nyaris setiap hari, hatiku tetap saja terus berdebar kencang setiap mengingatnya.
Ini akan menjadi pernikahan yang kedua bagiku. Sebelumnya, aku telah gagal mempertahankan rumah tangga dengan seorang lelaki peselingkuh yang telah memberiku dua orang anak.
Handphone-ku lagi-lagi berdering. Fahri.
"Rei, aku pulang terlambat malam ini. Titip Anna ya, biar dia tidur di rumahmu saja," suara bariton itu membelai telingaku.
Anna adalah putri semata wayang Fahri yang berusia 9 tahun, setiap hari dititipkan di rumahku bersama pengasuhnya. Anak-anakku sangat menyukainya.
"Oke, Ri. Pulang jam berapa kira-kira?" tanyaku sedikit kagok.
Aku belum terbiasa bicara ber-aku-kamu dengan calon suamiku itu. Sejak remaja, kami bicara dengan lo-gue, ternyata agak rikuh saat harus berubah.
"Kenapa, kangen?" ujarnya, lalu tertawa.
Kurasakan wajahku memanas. Bisa kubayangkan sorot mata Fahri yang jenaka di ujung sana.
"Nggak, biasa aja," jawabku sambil mengulum senyum.
"Jam 10 paling lambat. Kamu tidur aja, ngga usah nunggu aku nelpon, ya?"
Aku mendengus, lalu mengalihkan pembicaraan ke arah lain. Dia pasti sedang tersenyum mengejekku.
Percakapan selesai, kumatikan handphone dengan senyum yang masih membekas. Ada rindu yang muncul di dada.
---
Tanggal pernikahan kami semakin dekat. Seluruh undangan sudah terkirim, dua minggu lagi kami akan menjadi pasangan suami istri yang sah.
Akupun menjadi uring-uringan. Hal kecil bisa membuatku nyaris menangis.
Kebaya putih yang akan kukenakan saat akad nikah belum juga terasa pas. Masih harus dipermak sana sini. MC pernikahan kami belum jelas siapa. Pihak keluarga yang akan membacakan doa juga belum tahu.
Berbeda dengan pernikahan pertamaku 11 tahun yang lalu, kali ini semua persiapan kuurus berdua Fahri. Kedua orangtuaku telah menua, sementara Fahri anak tunggal yang tak punya orang tua lagi.
Kakak perempuanku berusaha membantu, namun banyak hal lain yang memang harus kuurus sendiri. Aku menginginkan semua harus sempurna di hari bahagia kami.
Bunga mawar yang menghiasi ruangan akad nikah nanti harus berwarna merah muda, tapi tidak terlalu lembut. Contoh warna sudah kukirimkan ke vendor.
Aku tidak mau MC pernikahan yang terlalu cerewet. Dia harus elegan, tidak berusaha melucu yang ujung-ujungnya garing. Sudah dua calon MC yang disodorkan, dan langsung kutolak karena tak sesuai kategori. Satu perempuan yang terlalu genit, satunya lagi lelaki yang gayanya agak feminin. Aku tak suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH WANITA BIASA
Storie d'amoreCerita tentang kehidupan wanita Single Parent alias janda beranak 2, bernama Reina. Kadang cinta tak cukup hanya dengan rasa.