11. Kupu-kupu di Perutku

2.7K 116 0
                                    

Aku masih menatap lelaki di hadapanku. Lancang sekali dia, berani-beraninya menggenggam tanganku. Dadaku bergemuruh. Entah marah, entah bingung. Tidak nyaman.

Adam agak salah tingkah. Tak ada senyum di bibirnya. Matanya menghindariku.

"Maaf," ujarnya setengah berbisik.

Aku harus segera mengendalikan diri. Tapi bagaimana caranya mengendalikan diri saat aku bahkan tak mengerti apa yang kurasakan?

Yang pasti jantungku melompat-lompat. Wajahku memanas. Sekujur tubuh seolah dirayapi ribuan semut. Tapi hatiku terasa hangat. Kuredam emosiku seperti biasa. Inhale... Exhale.. Napas, Rei.. Napas.

"Maksudmu apa?" Akhirnya suaraku keluar juga.

"Aku mau kamu," ulangnya.

"Mau apa," tanyaku lagi.

"Mau jadi pasanganmu. Menikah denganmu. Menghabiskan sisa hidup bersamamu," jawabnya dengan lugas.

Mata teduhnya menyelimutiku, nampaknya dia sudah mendapatkan kembali kepercayaan dirinya. Aku masih belum bisa memahami ini.

"Kenapa aku," tanyaku, lebih seperti bertanya kepada diriku sendiri.

"Ya maunya kamu," dia ngotot sekali.

"Aku janda. Janda beranak 2."

"Ya, usiamu 32, lebih tua dariku satu tahun. Kamu suka es kopi. Luka di alismu akibat berantem dengan teman SD. Kamu kalah waktu itu. Bapakmu pensiunan PNS, ibumu Ibu Rumah Tangga," dia mengatakannya dalam satu tarikan napas.

Lalu melanjutkan, "Kamu anak kedua dari 2 bersaudara, kakakmu perempuan. Hobimu membaca, nonton film. Kamu takut lintah. Kadang kamu merasa bisa melihat hantu."

Dicondongkannya tubuh ke arahku. "Mau aku lanjutkan?"

Aku menggeleng, tak ayal ingin tersenyum. Tapi belum. Aku masih harus mengajaknya berpikir logis.

Setelah menarik napas panjang, aku akhirnya bicara dengan nada biasa "Maksudku, kamu harus berpikir jangka panjang, Dam. Apa yang kamu harapkan dariku?"

"Di luar sana banyak perempuan single dan muda. Kamu masih muda dan menarik. Dengan mereka, kamu bisa membangun rumah tangga dengan lebih baik. Tanpa perlu memikirkan dua anak yang harus kamu urus, tanpa perlu menghadapi drama kehidupanku yang pastinya akan menguras energi."

"Kamu ingat waktu ketemu Dirga di Seaworld? Kamu ingat Salsa menangis? Itu baru secuil kecil dari dramanya, Dam. Masih banyak lagi," kataku agak terengah.

"Menikah denganku, artinya kamu harus menjadi bapak dari 2 anak. Suami dari istri yang penuh luka. Kamu akan menopang kehidupan anak-anakku, fisik dan mental, belum lagi harus menghadapiku."

"Aku wanita biasa. Tidak selamanya aku setegar ini. Aku bisa saja menjadi manja, cengeng, menuntut, mengekang, bahkan menyalahkanmu atas kesedihanku,"

"Hatiku sudah patah, Adam. Usaha merekatkannya kembali membutuhkan waktu tidak sedikit, dan energi yang sangat besar. Saat berhasil direkatkanpun, hatiku takkan pernah sama lagi," ungkapku sedih.

Panjang lebar penjelasanku, Adam hanya menatapku sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada. Punggungnya kembali bersandar santai.

"Lalu?" Tanyanya.

"Kita tidak mungkin bersama."

"Kata siapa," tantangnya.

"Kata aku," balasku tegas.

"Kamu bukan Tuhan." Bibirnya membentuk segaris senyum.

"........" Aku tak bisa berkata apa-apa lagi.

KISAH WANITA BIASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang