14 Maret, dan seharian hujan. Young Hyun masih sangat mengingat hari itu. Terkadang terlalu menyakitkan bahkan ketika ingatan itu hanya melintas beberapa detik saja. Sesekali kalau ia sedang merasa tidak sentimental ia akan jadi bersyukur karena hari itu pernah ada.
Sorenya Young Hyun pergi ke pasar dan mengunjungi Paperground, ia berniat membeli beberapa petalatan sekolah, buku tulisnya sudah habis dan pensilnya hilang, mungkin bagi sebagian orang hilang pensil bukanlah sebuah masalah, tapi bagi Young Hyun ini masalah besar, ia harus bekerja seharian penuh di ladang baru bisa membelinya, itupun pensil bekas yang tinggal setengah, bukan pensil baru dengan ujung rata belum diraut.
Young Hyun menghitung uangnya, hanya cukup untuk membeli satu buah buku tulis tipis dan tersisa beberapa sen, beberapa kali ia mengalihkan pandangannya ke arah buku atau pensil, ia membutuhkan keduanya, ia bingung, kalau saja mengemis bukanlah hal kriminal di sini mungkin Young Hyun sudah melakukannya. Bukan ia pemalas, ia sudah menghabiskan lebih dari separuh waktunya untuk bekerja serabutan dan penghasilannya masih belum cukup. Young Hyun juga bukan tipe orang yang suka berfoya-foya, membeli barang-barang tidak terlalu penting hanya sekedar dipajang atau camilan sore. Memang ia dibayar sangat sedikit. Orang-orang dewasa yang mempekerjakannya kebanyakan kepalang tega, mereka hanya melihat Young Hyun, tidak hanya Young Hyun, tapi semua anak-anak yang bekerja pada mereka hanyalah anak-anak yang seharusnya sudah merasa bersyukur dibayar oleh segenggam permen. Tidak adil memang, dan Young Hyun merasa di setiap sudut Avelium tidak ada keadilan, apalagi untuk golongan perunggu seperti dia.
Di Avelium ada 3 golongan orang, atau bisa disebut kasta, emas, perak, dan perunggu, Young Hyun sendiri tidak tahu jelas asal-usul pembagian golongan itu dari mana, mungkin kalau ia tidak sering bolos pada mata pelajaran sejarah di sekolah ia akan mengerti, tapi sayangnya jadwal itu selalu bentrok dengan pekerjaannya membersihkan jalanan di alun-alun, sehingga ia selalu terlambat dan datang di 15 menit terakhir. Young Hyun juga sudah kebal dengan omelan para guru, bahkan beberapa kali guru laki-laki menampar pipinya atau memukul bokong Young Hyun dengan penggaris kayu karena sifat acuh Young Hyun saat diomeli dan terkesan tidak peduli. Young Hyun memang benar-benar tidak peduli, ia sudah terlalu lelah bekerja, tidur hanya tiga jam sehari, terkadang ia tidak makan malam, tidak juga sarapan, dan ia pikir yang ia lewatkan hanyalah pelajaran sejarah yang ia yakin sebagian besar hanyalah karangan pendahulu-pendahulu Avelium saja, tidak terlalu penting baginya untuk memahami rekayasa-rekayasa semacam itu. Satu-satunya yang membuat ia semangat datang ke sekolah adalah pelajaran teknologi. Ia ingin masuk jurusan teknologi nanti, ketika usianya sudah empat belas. Tujuannya hanya satu, melarikan diri dari tempat yang terlihat indah tapi penuh kepura-puraan ini dengan teknologi yang ia buat. Terlebih ia penasaran, apakah masih ada sudut lain dari belahan bumi yang kehidupannya berjalan dengan normal dan menyenangkan.
Young Hyun menaruh kembali buku tulisnya di rak. Ia berpikiran membeli pensil saja, ia akan menghapus isi buku tulis sebelumnya supaya bisa ditulis ulang. Tapi kemudian ia menaruh pensilnya lagi, semua yang dicatatnya itu penting dan ia tidak akan ingat dengan detail, terlebih isinya rumus-rumus dan sebagian sudah ia modifikasi sendiri. Kurang lebih 100 halaman, dan ia merasa tidak sejenius itu bisa menyalinnya utuh-utuh di dalam kepala.
Tanpa sadar seseorang memperhatikannya, usianya setahun lebih tua dari Young Hyun, ia baru saja selesai transaksi dengan kasir, kantung plastiknya berisi dua buah buku tulis, dua buah pensil dan satu set penggaris.
"Hei, apakah kau mau membeli pensilku?" ia menghampiri Young Hyun, poninya yang panjang hampir menutupi mata.
Young Hyun melirik anak itu, sesaat merasa aneh, kenapa ia berjualan di dalam toko buku? Bukankah itu suatu pelanggaran?
"Kau bisa membelinya seharga 25 sen saja, tadi aku mengambil terlalu banyak, tidak bisa dikembalikan lagi," tambah anak itu. Young Hyun tidak bisa membaca ekspresinya karena matanya terhalang poni. Tapi yang jelas harga 25 sen itu terlalu murah, tidak sampai satu per delapan harga aslinya.
Young Hyun memperhatikan anak itu, ia bisa melihat Blood Codes ditangannya berwarna perak. Sudah pasti ia berasal dari golongan perak atau menengah. Tanpa pikir panjang Young Hyun memberikan uangnya sebesar 25 sen kepada anak itu. Mungkin anak itu kelebihan uang jadi menjual pensilnya dengan harga murah, Young Hyun juga tidak tahu.
"Terimakasih, omong-omong, namaku Dae Jung, aku harap kita bisa berteman." Ia tersenyum sambil mengulurkan tangan.
Young Hyun yang canggung membalas uluran tangannya, seharusnya ia yang mengucapkan terimakasih karena sekarang uangnya cukup untuk membeli buku dan pensil. "Aku Young Hyun, terimakasih sudah menjualnya padaku, aku memang sedang membutuhkannya."
Dae Jung tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum. Sejak hari pertama Young Hyun menjejakkan kakinya di Avelium, Young Hyun tidak punya teman, dan Dae Jung adalah teman pertamanya. Entah kenapa Young Hyun merasa percaya padanya, sesaat Young Hyun berpikir bahwa tadi Dae Jung memang berniat menolongnya, dengan menjual pensil seperdelapan harga, tapi Young Hyun pun tidak merasa dipermalukan karena tidak mendapatkannya secara gratis. Ya, Dae Jung tidak memperlakukan Young Hyun seperti orang miskin, tidak menyinggung harga dirinya.
Sejak saat itu Young Hyun dan Dae Jung berteman baik, sangat baik. Seringkali Dae Jung menjual barang-barangnya dengan harga murah, bahkan berbagi roti untuk sarapan, setidaknya Young Hyun bisa menyimpan 2 jam waktu istirahatnya, tidak harus bekerja.
Jangan salah paham, Young Hyun tidak memanfaatkan kebaikan Dae Jung, sebagai balas budi ia membantu Dae Jung belajar, dan Young Hyun berjanji akan menjaga Dae Jung seumur hidupnya. Bahkan tidak peduli jika ia harus bertaruh nyawa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Detective 6
Fanfiction"Namaku Park Jae Hyung, kau bisa memanggilku Jae, tempat asalku Korea Selatan, usiaku sebelas... Namaku Park Jae Hyung, kau bisa memanggilku Jae, tempat asalku..." Anak lelaki berambut coklat gelap itu terus menerus mengatakan kalimat yang sama. Tub...