Chapter 7

23 11 2
                                    

Mentari pagi telah menyinari sebagian sisi bumi. Bahkan sinarnya pun mampu menembus kaca jendela kamar Nada yang bahkan masih tertutup itu. Kicauan burung sudah berulang kali terdengar di setiap sisi halaman. Namun Nada masih saja belum terlepas dari mimpi yang mengikatnya.

Kringggg..

'Tep'

Dengan segera, Nada mematikan jam weker itu. Karena ia tak mau terus-terusan terganggu oleh suara nyaringnya yang mengganggu. Perlahan, Nada merenggangkan otot-ototnya yang menegang. Lalu menuruni kasur dan berjalan ke arah cermin yang tertempel di dinding kamarnya.

Hingga sedetik kemudian, ia menghela nafas. Sudah Nada duga sejak awal jika akan seperti ini. Entah sampai kapan Nada akan berpenampilan seperti ini.

Lihat saja, kantung mata yang menebal dan pinggiran matanya yang menghitam sudah menghiasi wajah Nada di pagi hari ini. Tentu ini sangat menyebalkan. Nada benar-benar membenci itu. Dan sebab itulah Nada benci air mata.

Nada berdecak sebal. Mau tidak mau, Nada harus menerima penampilannya. Lagipula, memang siapa yang akan peduli dengan penampilannya yang seperti ini?

"Tuhkan, tapi masa bodo ah." cibirnya sembari memperhatikan dengan seksama bayangannya di cermin. Lalu dengan cuek dan sikap masa bodoh nya itu Nada akhirnya memutuskan untuk bersiap-siap ke sekolah.

•••

Nada meraih tas sekolahnya yang tergantung di belakang pintu kamar. Lalu membuka daun pintu itu dan beranjak keluar.

Namun entah kenapa, perasaan khawatirnya muncul tiba-tiba. Ia memikirkan nasib ibunya semalam. Apakah ia kembali 'dimarahi' oleh ayahnya atau tidak. Atau bahkan mungkin 'dipukuli'. Nada merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia malah pergi meninggalkan Iana disaat Reno sedang dalam keadaan marah. Entahlah, tak pernah terlintas di pikiran Nada jika mungkin akan terjadi sesuatu hal yang tidak ia inginkan. Yang Nada pikirkan semalam hanyalah rasa bencinya kepada Reno.

Nada terdiam sejenak di ambang pintu. Hingga akhirnya ia pergi ke arah kamar Iana yang memang sudah lama terpisah kamar dengan Reno. Tepatnya, sejak kejadian itu. Kejadian yang membuat sikap Reno berubah 180°.

Toktoktok

Krieettt ..

Nada membuka daun pintu secara perlahan. Berusaha semaksimal mungkin agar tak mengganggu Iana.

Nada menatap Iana sendu.

Saat ini, Iana tengah dalam keadaan damai. Tidurnya terlihat sangat pulas. Tapi siapa yang tahu, mungkin saja Iana kini sedang gelisah di dalam mimpinya. Atau mungkin, Iana terlelap disaat ia lelah dengan apa yang baru saja ia alami.

Perlahan, ada rasa panas di pelupuk mata Nada. Hingga lama kelamaan, pandangannya sudah sedikit memburan akibat air mata yang kini menggenangi matanya.

Sebenarnya, wajah damai Iana yang sedang tidur ini cukup membuat Nada tenang. Tapi jika mengingat-ingat yang lalu, rasanya ia ingin pergi saja dari dunia ini. Namun untungnya, Nada tak pernah se-nekat itu. Dan hanya karna Iana lah, Nada bisa bertahan.

"Sayang." ucapan lirih yang keluar dari mulut Iana telah membuyarkan lamunan Nada. Dengan cekatan, Nada menjawab ucapan Iana yang terlihat sedikit pucat itu.

"Iya kenapa mah?"

"Kamu mau berangkat sekolah ya? Hati-hati ya nak." Nada mengangguk mengiyakan ucapan Iana. Membuat senyuman mengembang sempurna di wajah cantik Iana.

"Yasudah mah, Nada berangkat ya mah. Assalamualaikum."

Nada bergerak menggapai tangan Iana. Lalu menciumnya dengan lembut. Dan setelah itu, ia tersenyum hingga ia benar-benar pergi meninggalkan Iana sendiri di kamarnya.

"Wa'alaikumsalaam."

•••

Langkah kaki seseorang menciptakan suara kegaduhan di tengah koridor. Pikiran was-was nya pun turut serta menghiasi titik keringat yang mulai membasahi keningnya. Pikirannya mulai meracau kemana-mana. Hingga akhirnya ia berhenti tepat di depan kelas yang ia tuju.

Oh, tidak-tidak. Bahkan sebenarnya ia tak pernah ingin kesini. Tapi entah kenapa hati nya berkhianat. Rasanya, ia benar-benar penasaran dengan gadis yang sudah memenuhi otaknya belakang ini.

Nada. Gadis menyebalkan yang entah sejak kapan membuat seorang Gema menjadi seseorang yang kepo berlebihan.

Lagipula, Gema memang sedang gemas dengan sikap dan tingkah Nada. Apalagi jika ternyata yang ia pikirkan selama ini tentangnya itu salah besar. Mungkin memang benar, jika Gema pernah berprasangka jika Nada adalah bukan gadis baik-baik yang bahkan tidak pernah ingin meminta maaf layaknya wanita sombong kebanyakan. Dan bahkan Gema pernah berfikir jika Nada begitu membencinya sehingga ia tak bisa meminta maaf padanya. Namun perkiraannya benar-benar salah. Nada tak hanya tidak bisa meminta maaf dengan dirinya. Tetapi juga yang lain. Jangankan kepada orang lain seperti dirinya saat ini. Bahkan dengan Zean dan Nafta yang notabene nya sebagai sahabat Nada pun, Nada tak pernah bisa meminta maaf.

Jangan tanyakan Gema ia tahu darimana. Karena sebelum tekadnya benar-benar bulat, ia sering memperhatikan kebiasaan Nada selama ini. Kalian boleh katakan jika Gema benar-benar telah menjadi seseorang yang kepo-an. Karena Gema benar-benar tidak peduli. Ah, sudahlah.

Perlahan, Gema mulai mengintip ke dalam kelas. Ya, Gema memang masih belum merubah posisinya sejak tadi. Ia takut. Bukan masalah takut dengan Nada. Masa iya, seorang Gema takut dengan Nada? . Gema hanya takut jika Nada ke-geer-an saja jika melihat kehadirannya di kelas itu. Apalagi jika Nada berfikir kalau ia — errrr gila saja jika benar seperti itu.

Gema mencoba menyapu seisi kelas. Meskipun pandangannya sedikit sempit karena ia masih bersembunyi dibalik tembok pintu masuk. Tapi, sepertinya, orang yang sebenarnya tak ia harapkan kehadirannya itu tidak ada. Kemana? Tidak masuk kah? Atau belum datang? Atau bahkan karena ia bersembunyi jadi tak benar-benar menyapu keseluruhan isi kelas sehingga tak melihat Nada?

Gema berdecih pelan, lalu memajukan sedikit posisi kepalanya supaya ia lebih leluasa menerawang isi kelas.

Dan kali ini ia benar-benar percaya dengan apa yang ia lihat. Gadis itu tidak ada. Tak peduli kemana gadis itu sekarang. Tapi yang pasti, ia bersyukur telah lolos dari seorang Nada. Karena jujur saja, Gema masih ingin melindungi telinganya dari racauan Nada. Tapi sialnya, orang yang justru ia perlukan tidak ada saat ini. Sekarang, ia harus mengetahui dimana keberadaan sahabatnya itu— Zean, ataupun Nafta. Karena Gema benar-benar membutuhkannya sekarang. Masa iya, ia harus mencari mereka berdua di antara salah satu tempat di sekolah seluas ini.

"Udah lama lo ngedekem di situ?"

Eh?

Refleks, Gema langsung menormalkan posisi berdiri nya. Lalu mencoba menengok ke arah sesorang yang sudah mengejutkannya itu. Dan astaga, itu adalah Nafta. Sejak kapan Nafta berada di belakangnya?

"Ah, Nafta. L—lo ngapain?" sial, mengapa ia menjadi gugup seperti ini.

Nafta yang terheran-heran dengan sikap aneh Gema pun mengerutkan keningnya, lalu terkekeh pelan. "Harusnya gue yang nanya. Elo ngapain ngejogrog disitu?"

"Eeuhh," Gema menggaruk belakang kepalanya yang bisa dipastikan sama sekali tidak gatal. Ia hanya gugup. Eh? Mengapa ia harus gugup?

"Gue cari lo." lanjutnya.

Nafta membulatkan matanya. Lalu menunjuk ke dirinya sendiri dengan jari telunjuknya. "Gue?"

Gema mengangguk mantap. Lalu secara tiba-tiba, ia menarik tangan Nafta agar gadis itu mengikuti dirinya. Untungnya, gadis itu menurut saja dan tak memberontak sedikit pun meskipun awalnya ia terlihat kaget sekali.

Hingga akhirnya, yang Nafta dengar dari mulut Gema saat itu adalah.

"Ikut gue, gue mau ngomong sesuatu."

Bersambung~~

Gua sebenernya gak yakin ni cerita seru apa kaga. Meskipun kurang seru, gua harap mohon apresiasi nya buat gua ya.. Kasih vote dan komen. Dan kasih komen kritik apa aja, tapi jangan pedes-pedes. Gua gasuka pedes soalnya *eh😅

Keep stay here. Cause i need you gaes💞

Efilova

Gema NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang