Sajadah Cinta #01

201 44 0
                                    

"Tipikal bad boy..." Zahwa bergumam.

😎😎😎
****

Malam ini cuacanya sangat tenang. Zahwa mendongakkan kepalanya menatap langit-langit malam yang dipenuhi taburan bintang. Di sampingnya ada Fika yang juga melakukan hal serupa dengannya. Kedua cewek itu duduk di balkon kamar Zahwa yang berhadapan langsung dengan bukit kecil yang ditumbuhi hamparan rumput luas yang menghijau.

"Za, tadi itu yang jadi imam pas tarawih siapa ya?" Fika bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari bintang-bintang di atas sana, mencoba menghitung berapa banyak bintang malam ini. Dan ternyata benar yang dikatakan orang-orang bahwa bintang tak terhitung jumlahnya.

"Tapi kalau yang tampak di langit cuma sedikit ya gampang-gampang aja ngitungnya." Fika suka terkekeh sendiri jika sudah mengingat kalimat sanggahannya.

"Kak Halid. Memangnya kenapa?" sama seperti Fika, Zahwa juga masih enggan mengalihkan tatapannya. Namun yang berbeda disini adalah Zahwa bukan menghitung jumlah bintangnya, tapi mencoba membentuk beberapa pola bintang dengan menggerak-gerakkan jari telunjuknya sambil mengamati tata letak bintang di atas langit sana.

"Hem... Suaranya merdu banget Za!" Pekik Fika dengan wajah kagumnya, cewek itu menghentikan aktivitas menghitung bintangnya. Kemudian menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi yang ia duduki.

"Hem... Ya, suara ngaji dia emang merdu banget Fik." Zahwa juga berhenti dengan aktivitas mencari pola bintangnya, kemudian ia juga ikut menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, sebelah kiri tangannya ia letakkan di atas meja yang terletak diantara dirinya dan Fika.

"Gue rela kok dengerin dia ngaji setiap saat." Fika tersenyum manis, mengingat dengan jelas lantunan-lantunan ayat yang dibacakan Halid saat shalat tarawih tadi.

Zahwa terkekeh kecil. "Dia kan memang tiap hari ngaji di masjid Fik. Ya otomatis, yang kita denger tiap hari itu suara dia. Nggak heran sih suara dia bisa semerdu itu, kak Halid kan pernah juara satu MTQ tingkat nasional kan?" pertanyaan Zahwa disambut anggukan kepala dari Fika.

"Hem... Dia cocok loh, kalau sama lo." Zahwa penoleh ke arah Fika, sahabatnya itu menatapnya dengan senyum simpul di wajahnya.

"Dia itu lulusan pesantren Fik, sekarang juga ngambilnya kuliah jurusan Agama Islam. Nggak yakin aku bisa melengkapi dia." Zahwa sebenarnya tidak memiliki perasaan apapun pada Halid, hanya saja dia tidak mau takabur. Jodoh itu Allah yang menentukan, walaupun mencintai dan dicintai itu menjadi dua hal yang akan saling menguatkan hubungan dua insan, tapi balik lagi tidak semua impian dan jodoh itu sejalan.

Menikah dengan orang yang kita cinta itu adalah impian, tapi menikah dengan orang yang tidak kita duga itu namanya jodoh.

Dan diantara keduanya, jodohlah yang akan abadi. Baik di dunia maupun sampai ke jannah-Nya kelak.

***

Jam menunjukan pukul setengah enam pagi, ketika Fika dan Zahwa tiba di taman komplek mereka.

Setelah selesai shalat subuh dan pulang dari masjid, Zahwa dan kedua sahabatnya selalu menyempatkan untuk berolahraga pagi. Zahwa dan Fika sudah duduk di bangku taman komplek mereka, menghirup udara segar sembari menunggu satu orang lagi. Aradila, sahabat mereka yang tinggal di komplek sebelah. Komplek mereka merupakan perumahan elit yang dihuni oleh keluarga menengah ke atas, termasuk Zahwa dan Fika yang merupakan anak dari seorang pengusaha.

Pradifta Utomo, papa Zahwa yang bisa dibilang merupakan seorang pengusaha sukses di bidang kuliner. Restorannya sudah membuka cabang di lima kota di Indonesia dan satu cabang lagi berada di Singapura.

Sajadah Cinta ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang