Qanita 3

7.9K 1.1K 100
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Bukannya kalau kita mempunyai sesuatu yang kita sayang, justru bakal kita jaga sepenuh hati. Nggak boleh banyak orang sembarangan lihat, apalagi megang?

***

"Papa nih ya, matanya suka jelalatan ke mana-mana. Ayo balik pulang!"

Aku melirik arah suara itu, ada seorang ibu-ibu menjewer seorang bapak paruh baya yang tengah melihatku. Ya, aku yakin ia melihatku karena setelah aku menengok, matanya mengedip menggoda.

Aku memalingkan muka, mengepalkan tangan erat. Awalnya aku tidak begitu risih mengenakan pakaian terbuka. Sedari kecil di keluarga, hal ini lumrah. Tapi entah kenapa, setelah melihat reaksi beberapa orang terhadapku akhir-akhir ini aku jadi merasa perlu berpikir dua kali untuk memakai baju seperti itu, terlebih di muka umum.

Sudah kucoba untuk mengubah sedikit gaya berbusanaku, tapi kenapa masih banyak yang dengan gamblang menggoda seperti itu. Sebenernya apa yang salah?

"Ra."

Aku berhasil menarik perhatian Amara yang tengah memakan kentang gorengnya. Kami sedang berada di restoran cepat saji dekat agency sekarang, hari ini aku tidak ada job, begitupun dengan Amara, jadi setelah beberapa rapat kecil, kami memutuskan untuk bersenang-senang dulu.

"Menurut lo penampilan gue hari ini gimana?"

Gadis itu menaruh makanannya sebelum menjawab, "Biasa aja. Ini pakaian lo sehari-hari, kan?" jawabnya cuek, sangat khas Amara sekali.

"Iya, sih. Tapi kok lama-lama aku ngerasa ada yang salah, ya? Apalagi banyak om-om ngelirik nakal kayak gitu." Kepalaku mengedik ke bapak-bapak tadi.

"Itu emang dasarnya mereka aja yang buaya. Menurut gue, pakaian lo saat ini sopan kok. Cuma bemper depan lo emang digimanain juga kelihatan lebih menonjol daripada yang lain, sih."

Aku melotot ke arah Amara, dan mencoba menutupi apa yang dilihat cewek kurang ajar itu.

Tawa Amara menggema. "Percuma lo tutup-tutupin kayak gitu. Kalau emang bener-bener mau nutupin pakai hijab aja noh kayak cewek itu."

Dagu Amara mengedik ke pengunjung yang baru saja lewat, seseorang dengan pakaian tertutup.

"Jangan bilang lo beneran mikirin mau pakai kayak gitu? Ayolah, Ta. Gue cuma becanda. Punya badan kayak lo tuh anugerah. Udah deh disyukuri aja."

Omongan Amara tetap tak bisa melepaskan pandanganku ke arah perempuan itu, gaya berpakaiannya mirip sekali dengan Mbak Ayana, aura mereka terlihat keluar saat memakai busana itu, orang-orang di sekelilingnya pun seperti sangat menghormati mereka.

Kenapa aku jadi iri?

***

Aku pulang sejenak setelah pergi dengan Amara. Yah, beginilah jadwalku saat tidak ada pemotretan, bepergian bersama Amara, tidak jelas. Menghabiskan waktu sampai sore, bahkan malam hari. Terkadang makan, atau hanya sekadar ke mall, sesekali juga ke club, tapi itu jarang sekali, paling ketika ada acara teman, meski banyak orang mengatakan pakaianku cukup seksi, aku jarang sekali ke tempat seperti itu.

Setelah membayar taksi, aku turun, melihat sekitar. Mbak Ayana tengah menyiram bunga yang baru saja ia tanam, sepertinya dia sangat telaten sekali.

"Siram-siram ya, Mbak?"

"Eh, Dik Qanita. Iya, Alhamdulillah tadi siang airnya udah nyala. Baru pulang dari kerja, ya?"

Aku tertawa pelan. "Mana ada kerja pakai pakaian santai begini, Mbak. Tadi abis jalan sama temen. Job-nya lagi libur hari ini."

"Oh, emang biasa ngambil job apa, Dik?"

"Model, Mbak. Kadang pemotretan, juga fashion show."

Mbak Ayana membulatkan mulut, dan meneruskan kegiatannya. 

Sesaat aku tertarik melihat pakaian yang dikenakan Mbak Ayana, sama seperti wanita tadi, semua serba tertutup, apa dia tidak gerah? Mataku berpindah dari ujung kepala ke ujung kakinya, dan aku terkesiap. "Mbak, bajunya."

"Eh? Astaghfirullahadzim." Dengan cepat Mbak Ayana mengangkat roknya yang terkena cipratan air kotor, dan terlihat ia masih memakai kaos kaki serta celana kaos panjang di dalamnya

Berlapis-lapis gitu, apa dia nyaman?

"Aduh, saya nggak sadar. Tapi emang abis ini mau mandi, sih. Nanti sekalian dicuci juga," ucap wanita cantik itu.

"Mbak ..."

Mbak Ayana mengalihkan perhatian ke arahku.

"Nggak risih ya pakai pakaian kayak gitu di rumah?"

Sepertinya dia cukup kaget dengan pertanyaanku, kentara sekali dari raut wajahnya.

"Eh, maaf. Nggak bermaksud ..." Omongan itu memang refleks muncul, aku tak tahan terus menahannya di kepala.

"Iya, nggak apa-apa kok, Dik. Aku cuma nggak nyangka kamu tanya itu." Senyum manis gadis itu berkembang. "Aku sama sekali nggak ngerasa risih. Justru rasanya nyaman. Kayak ada yang ngelindungin gitu."

Alisku berkerut. "Kok bisa?"

"Wanita itu seperti harta yang paling  berharga, Dik. Bukannya kalau kita punya sesuatu yang kita sayang, justru bakal kita jaga sepenuh hati. Nggak boleh banyak orang sembarangan lihat, apalagi megang?"

Aku tersentak. Harta yang berharga? Dijaga? Kenapa rasanya aku tersindir? Aku dengan mudah memamerkan tubuhku, bahkan pernah bangga dengan hal itu. Berpegangan dengan lawan jenis pun bukan hal yang tabu. Jadi, apakah artinya aku belum bisa menjaga diriku?

Ringtone ponselku tiba-tiba berbunyi, mengaburkan lamunanku.

"Bentar ya, Mbak," ucapku meminta ijin dan Mbak Ayana mengangguk.

Segera kuangkat telepon itu. "Halo, Ma."

Ya, mamaku yang menelepon, tapi aku seperti tidak fokus mendengar yang diutarakan oleh wanita kesayanganku itu. Omongan Mbak Ayana masih terngiang dalam otakku.

Apakah memang aku yang membuat diriku menjadi tidak seberharga itu?

*Bersambung

QanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang