بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
***
Meski ragu, aku mencoba memberanikan diri untuk bercerita kepada Mbak Ayana. Berharap semua beban yang sedari tadi ada di dadaku berkurang. Mbak Ayana mendengarkan dengan saksama, melihatku menangis, menepuk bahuku, dia tak pernah menyela selain dengan kata, "hm" atau "terus?" Dan menganggukkan kepala.
Setelah sudah puas meluapkan semuanya, Mbak Ayana terlihat diam, melihat lantai. Matanya seperti menerawang entah ke mana.
"Sabar ya, Dek." Mbak Ayana mengelus punggung tanganku. "Sebenarnya, Mbak pun dulu pernah ngerasain hal yang sama."
Jarak antar alisku memendek, Mbak Ayana? Pernah? Tidak mungkin!
"Dulu ketika masih sekolah, Mbak juga suka pakai pakaian seksi. Rasanya lihat orang mandang kita dengan kagum itu ada perasaan bangga sendiri," ucap Mbak Ayana sembari tersenyum kecut.
"Don't judge books by cover emang sangat sering disebutkan orang, Dek. Namun, tak dipungkiri semua orang pertama kali melihat orang lain pasti dari penampilannya. Dari situ kadang mereka bisa menyimpulkan macam-macam. Mbak nggak bermaksud ceramah sama kamu, tapi mbak mau sekadar bercerita. Kenapa mbak menutup aurat seperti ini? Bukan cuma karena ini perintah Allah, Dek. Tapi juga karena Mbak butuh. Mbak butuh pelindung untuk membentengi diri mbak dari perbuatan buruk. Saat memakai penutup ini, jika melakukan maksiat mbak pasti akan berpikir dua kali. Begitu juga orang yang melihat mbak, godaan lelaki hidung belang jauh sekali berkurang daripada dulu saat mbak belum pakai hijab. Mbak yang butuh hijab ini, Dek."
Aku tersentak. Kita yang butuh?
"Kita nggak bisa mengendalikan pemikiran orang terhadap kita, kalau kita sendiri juga nggak mau mengubah diri kita. Makanya Mbak berubah." Mbak Ayana menepuk bahuku dan tersenyum, ada sebuah ketulusan yang terpancar dari raut wajahnya, dan hatiku merasakan itu, membuatku tercenung untuk sejenak.
Memang sudah beberapa waktu ini ada yang mengganjal dalam hatiku saat melihat pandangan orang. Meski terlihat cuek di luar, aku selalu membatin, adakah yang salah? Kenapa hatiku selalu tidak tenang?
Sebuah notifikasi chat memecah lamunanku. Dari Amara, dia berkata akan tiba sebentar lagi ke kontrakanku.
"Maaf, Mbak. Ada temen yang mau mampir. Makasih banget sharingnya ya mbak."
"Kapan pun kamu butuh temen mbak siap, kok."
Aku berpamitan sebelum pergi, dan menemukan Amara sudah ada di depan pagar rumahku. Matanya menyipit.
"Tadi lo abis dari tetangga sebelah? Tumben berbaur sama tetangga," ucap gadis itu nyinyir.
"Tadi gue sempet pingsan, dan ditolong sama Mbak Ayana."
"Astaga! Serius?" Amara memegang dahiku, khawatir. "Jadi lo sakit?"
"Nggak, kok. Mungkin sedikit shock aja karena kejadian tadi."
Amara mengepalkan tangan. "Brengsek tuh aki-aki. Perlu gue kasih pelajaran kayaknya!"
"Udahlah. Toh, tadi dia juga udah dapet bogem mentah. Gue udah nggak mau bahas dia lagi," kataku sembari mengibaskan tangan. "Eh, btw, Mar. Menurut lo pakaian yang gue pakai ini bisa bikin orang berpikiran kotor nggak, sih?"
Amara merenggut, memperhatikan penampilanku. "Lo ngomong apaan, dah! Biasanya juga pakai kayak gini."
"Tadi gue cerita sama Mbak Ayana, dan dia jadi sharing pengalaman gitu. Katanya penampilan kita juga bisa memicu perspektif orang sama kita."
"Tetangga lo ngomong kayak gitu?" Amara melirik ke belakang punggungku, ternyata di sana ada Mbak Ayana yang masih berdiri di depan pintu setelah mengantarku. Segera Amara menarik tanganku masuk, dari cara pandangnya ia sepertinya tidak suka. "Pantes sih sok suci. Pakaiannya kayak gitu."
"Eh, kok lo ngomong kayak gitu sih, Mar?"
"Kalau gue sih nggak setuju, ya. Sejak kapan baik dan nggaknya seseorang dinilai dari apa yang dia pakai? Lalu orang-orang miskin yang memakai pakaian compang-camping itu lebih rendah gitu? Banyak juga kok teman-teman kita berpakaian seksi jadi pendonor tetap di sebuah panti asuhan. Emang cuma kaum mereka aja yang suci? Yang menutupi tubuh dengan baju kebesaran kayak gitu?"
"Mar!" Entah kenapa aku merasa tak terima dengan apa yang dibicarakan oleh Amara.
"Mendingan lo jangan deket-deket sama tetangga sebelah deh, Ta. Gue takut dia malah ngajarin aliran sesat."
"Hush! Kamu negatif thinking aja, deh."
"Yeee ... dibilangin juga. Pokoknya ati-ati. Lo jangan sampai tertipu sama mulut manis orang."
Aku mengembuskan napas lelah, kondisiku yang sekarang sedang malas untuk berdebat, dan aku sekali Amara tak akan menerima pembelaanku pada Mbak Ayana.
"Eh, lo udah cerita sama Vino tentang kejadian ini belum?"
"Belum lah. Gue tahu kalau gue cerita sama dia, tuh om-om nggak bakalan bisa hidup malam ini."
"Iya, sih."
***
Keesokan harinya aku datang ke agency lagi. Dan kabar burung soal kejadian kemarin sepertinya sudah tersebar. Terbukti dari banyaknya orang melihatku dengan tatapan berbeda, mulai dari yang bersimpati, meremehkan bahkan terang-terangan mensyukuri apa yang telah terjadi.
Hah, sudahlah. Aku lelah jika harus memikirkan apa anggapan orang terhadapku terus-terusan.
Oh ya hari ini bos besar mau menemuiku, entah untuk urusan apa, mungkin berhubungan dengan kejadian kemarin. Aku tidak tahu apa yang Pak Syam bicarakan, dia pasti membela dirinya sendiri.
Baru saja aku ingin mengetuk pintu ruangan bos besar. Seseorang sudah keluar dari sana. Ah, dia. Dafa. Orang yang menolongku kemarin. Rautnya terlihat lesu.
"Mas Dafa." Aku mencoba menyapanya.
Lelaki itu menatap ke arahku, ada sedikit emosi tersirat, tapi aku tak tahu apa makna yang terkandung di dalamnya. Yang terjadi kemudian, dia pergi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ah menyebalkan!
"Tata." Belum selesai aku memandamg kepergian Dafa, suara Bos besar terdengar dari dalam dan membuatku terpaksa mengalihkan perhatian.
"Permisi, Pak."
"Silakan masuk."
Mata bos besar mengisyaratkan diriku untuk duduk di kursi yang sudah disediakan, tatap matanya tak enak. Sepertinya aku akan mendapatkan masalah. Ah, apalah Dafa juga? Itu sebabnya wajahnya terlihat kecut? Aku jadi merasa bersalah.
*Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Qanita
SpiritualUpdate setiap hari Rabu dan Minggu **** Aku punya segalanya. Tampang rupawan, body yang diimpikan hampir semua wanita di dunia, keluarga yang sangat peduli dan menuruti apa pun yang aku inginkan, hidup yang serba berkecukupan, sahabat yang selalu a...