بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
***
Tubuhku bergetar, dan mataku tergenang. Sial! Sial! Sial! Aku tidak mau menangis hanya gara-gara pria brengsek itu, tapi kenapa semakin aku menahan, alirannya semakin deras? Jujur, hatiku sakit. Berani-beraninya lelaki tua bangka itu melakukan pelecehan padaku. Ia kira aku ini wanita macam apa? Ia kira semua cewek dengan pakaian terbuka itu murahan. Ini hanya tuntutan pekerjaan. Tidak lebih!
Pagi tadi, aku baru saja mendengar pujian dari pacarku akan apa yang kukenakan, betapa indah tubuh dan rupaku. Tapi dalam hitungan detik, seorang lelaki merendahkanku dengan alasan yang sama.
Brengsek!
Ingin sekali segala umpatan aku teriakkan sekarang, tapi apa yang aku bisa lakukan sekarang hanyalah menangis. Dasar tidak berguna!
Setelah insiden tadi, aku segera pulang ke rumah. Lebih tepatnya Bos besarlah yang menyuruh. Semua kacau balau tadi, bahkan lelaki yang menolongku juga mendapat bogem mentah dari Pak Syam.
Ah, lelaki itu, saking tidak stabilnya kondisiku tadi, aku bahkan belum sempat berterima kasih padanya. Padahal selain menolongku dari Pak Syam, ia juga memesankan taksi. Aku tak mengenalnya, tapi entah kenapa rasanya lelaki itu terlihat familier, mungkin aku pernah bertemu dengannya, tapi entah di mana.
Yang jelas, perkataan dia terakhir sebelum aku masuk taksi benar-benar membuatku tergelitik.
"Jika kamu mau dihargai orang lain. Hargailah dirimu sendiri," katanya sembari menyampirkan jaket ke pundakku, menutupi tubuhku yang terbuka. Hatiku berdesir, aku merasa tersindir, tapi rasanya untuk membalas ucapannya tak sanggup.
Aku melongok hape yang mendadak berbunyi, membuyarkan lamunanku. Dari Amara. Ah ya, aku belum mengabarinya masalah ini. Apa dia sudah dengar ceritanya dari anak-anak agency?
Tanpa berpikir panjang, aku menggeser tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga. "Halo?" ucapku, sembari menghapus air mata yang jatuh, meski aku tahu itu percuma. Amara pasti tahu aku habis menangis dari suara sengauku.
"Ta, lo nggak papa, kan?"Aku terdiam, cukup lama. Berkata tidak apa-apa artinya bohong, tapi mengatakan yang sebenarnya membuatku takut Amara terlalu khawatir. Sahabatku itu biasanya sangat berlebihan menanggapi ada seseorang yang menggangguku. Aku teringat saat jalan-jalan di mall dengannya dan aku berkata sepertinya ada yang tidak sengaja memegang bagian belakang tubuhku, dia langsung mencak-mencak dan menendang tulang kering lelaki itu. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya kepada Pak Syam bila tahu apa yang sudah lelaki itu perbuat padaku.
"Tadi gue dapet kabar dari Andre, katanya Pak Syam macem-macem sama lo, ya? Kurang ajar banget tuh ABG Bangkotan! Kalau gue ada di sana udah gue tendang bokongnya sampe terbang ke laut Atlantik. Sialan!"
Aku tersenyum kecil, rasanya lucu mendengar Amara mengatai Pak Syam seperti itu, sahabatku ini memang mempunyai daya magis sendiri untuk menghiburku.
"Tapi kamu bener-bener nggak papa kan, Ta? Dia ngelakuin apa aja sama lo? Gue belum denger cerita detailnya. Apa perlu gue sekarang balik ke agency buat kasih pelajaran sama cowok hidung belang itu?"
"Nggak usah, Mar. Syukur aja tadi udah ada yang berani ngasih dia pelajaran. Moga aja abis itu dia sadar."
"Ah! Dafa, ya? Tadi denger juga dia yang nangkep basah Pak Syam."

KAMU SEDANG MEMBACA
Qanita
DuchoweUpdate setiap hari Rabu dan Minggu **** Aku punya segalanya. Tampang rupawan, body yang diimpikan hampir semua wanita di dunia, keluarga yang sangat peduli dan menuruti apa pun yang aku inginkan, hidup yang serba berkecukupan, sahabat yang selalu a...