Aku tak percaya apa yang barusan Bos besar katakan. Dengan entengnya dia berkata lupakan masalah kemarin dan menyuapku dengan iming-iming menjadi seorang bintang film kalau mau menurutinya, tentu saja dengan syarat aku tak menyebarluaskan rekaman itu.
Jujur, aku emosi. Siapa yang tidak marah ketika harga dirinya diinjak-injak seperti ini? Andai aku benar-benar merekamnya, aku tak perlu banyak berpikir lagi, pasti aku umumkan ke media massa. Tapi sayangnya itu hanya gertakan. Kalau dia tahu semua itu, pasti tak akan melihatku sama sekali, menganggap semua angin lalu.
Kaleng kosong minuman aku tendang begitu saja saat aku ada di taman tak jauh dari agency. Aku butuh udara segar sekarang. Namun, suara kegaduhan dari balik pohon membuatku terkesiap.
"Ups, sor—Mas Dafa?"
Orang yang kupanggil namanya membulatkan mata sembari mengelus kepala. Sepertinya ia terkena kaleng yang aku tendang tadi.
"Ups. Maaf, Mas."
Mas Dafa menggeleng. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat, lalu memasang wajah datar.
Kalau aku lihat-lihat sedari awal tahu lelaki ini, dia memang selalu memasang wajah seperti itu, tanpa senyuman, tapi juga tidak galak. Matanya tidak tajam, tapi sayu, agak turun di ujungnya, alisnya tebal dan mendatar, seperti ulat bulu.
"Kamu tadi sudah bertemu dengan Pak Rangga?"
Ah, dia membicarakan bos besar.
"Iya."
"Lalu?"
"Eeuumm ya begitulah. Aku diminta tutup mulut soal Pak Syam, diiming-imingi jadi bintang film pula. Cih!"
"Oh."
Tak ada kata yang keluar dari mulut Mas Dafa lagi. Untuk sesaat kami terjebak dalam kebisuan. Aku juga bingung mau membicarakan apa, rasanya rikuh, kira-kira obrolan apa yang cocok untuk lelaki di hadapan ini?
"Ya udah, aku balik ke kantor dulu."
Eh? Kok malah pergi?
Hampir saja Mas Dafa beranjak dari tempat ia berdiri, mulutku tiba-tiba terbuka.
"Tunggu—Mas."
Tunggu? Memang untuk apa aku menahannya?
Mas Dafa berbalik, mengerutkan kening, seolah bertanya apa yang akan keluar dari mulutku.
"Jaket Mas Dafa masih aku bawa," ucapku akhirnya.
"Oh. Ya."
Aku merasa nada bicara lelaki di hadapanku ini sangat dingin, berbeda dengan orang luar yang biasa aku temui.
"Tadi udah aku masukin ke laundry, besok baru bisa aku kembaliin."
Mas Dafa mengangguk. "Sudah?"
Lagi-lagi dia bersiap untuk pergi, tapi kenapa hatiku merasa tidak rela?
"Tunggu, Mas."
Lelaki itu mengerem langkah lagi.
Mati! Aku mau ngomong apa lagi?
"Tadi, Bos besar bicara apa sama Mas Dafa? Melihat reaksi Mas tadi sepertinya—"
"Aku dipecat."
"Apa?" Aku tak bisa menyembunyikan kekagetanku. Bukannya Mas Dafa baru saja bekerja di perusahaan ini? Mana mungkin dia langsung dipecat? Dan jangan bilang semua gara-gara aku? "Kok bisa?"
Mas Dafa mengangkat bahu. "Bukan rezeki kerja di sini kali."
"Apa ini karena masalah Mas Dafa nolong aku kemarin? Kalau benar, aku harus bicara sama Bos Besar. Ini nggak adil!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Qanita
SpiritualUpdate setiap hari Rabu dan Minggu **** Aku punya segalanya. Tampang rupawan, body yang diimpikan hampir semua wanita di dunia, keluarga yang sangat peduli dan menuruti apa pun yang aku inginkan, hidup yang serba berkecukupan, sahabat yang selalu a...