Suara ketukan pintu membuatku segera beranjak dari kursi. Aku sedang menonton film kesukaan di pagi hari yang indah ini. Ya, setelah sekian lama tidak bisa tidur, akhirnya semalam aku beristirahat dengan nyenyak. Badanku seperti sudah diregenerasi lagi, otakku juga menjadi fresh. Rasanya menyenangkan.
Aku tak terlalu tahu penyebabnya. Apa karena menginap di rumah Mbak Ayana yang sejuk itu? Atau karena lantunan ayat suci alquran yang begitu merdu? Ah, lain kali mungkin aku coba menyetel murrotal sebelum tidur.
Setelah sampai di depan pintu, aku membukanya, orang yang sedari tadi ada di pikiranku ternyata sekarang ada di sini. Panjang umur dia.
"Assalamualaikum, Nita."
"Waalaikumussalam warohmatullah. Mbak Ayana?"
Perempuan itu tersenyum teduh. "Hai, Ta. Maaf ganggu."
"Nggak sama sekali kok, Mbak."
"Oh iya, ini ada makanan buat kamu." Mbak Ayana mengangasurkan kotak makannya ke arahku.
"Eh, kok jadi sering dikirimin makanan gini sih, Mbak. Jadi nggak enak," ucapku sembari menerima kotak itu. "Mana aku nggak pernah ngasih apa-apa lagi. Maklum, Mbak. Nggak bisa masak. Makasih ya."
Kekehan kecil keluar dari bibir Mbak Ayana. "Hehehe ... nggak papa. Mbak juga lagi seneng coba resep masakan, kok. Nggak ada yang bisa dijadiin ujicoba selain kamu."
Hidungku sedikit berkerut. "Oh, jadi aku dijadiin kelinci percobaan, nih."
Kali ini perempuan itu tertawa sembari menutup mulut, anggun sekali. "Maaf, deh."
"Nggak papa kali mbak. Kan gratis ini. Sejauh ini makanannya selalu top markotop!" Aku sedikit melirik isi kotak makanan Mbak Ayana. Bolu pisang sepertinya. Wah aku suka semua yang berbau pisang, yang kali ini pasti akan langsung aku habiskan. "Oh iya, Mbak. Masuk dulu, yuk."
"Eh enggak, deh. Aku masih harus beberes rumah dulu."
Rajin sekali Mbak Ayana ini, calon istri idaman setiap lelaki. Nggak kayak aku yang suka malas membersihkan rumah, nggak bisa masak. Heeemm. Kira-kira nanti Vino menyesal tidak ya kalau menikah denganku?
"Oh iya, Ta." Perkataan Mbak Ayana meraih perhatianku lagi. "Eeuummm gimana ngomongnya, ya?"
Mataku mengerjap, bingung. "Apa, Mbak?"
"Hari ini kamu libur, kan?"
"Iya, Mbak. Kenapa, Mbak?"
"Mbak mau ajak kamu. Itu juga kalau kamu mau."
"Ke mana, Mbak?"
"Ke pengajian."
Dahiku berkerut. "Hah? Pengajian?"
"Heem. Sejak kamu curhat kemarin, Mbak jadi mikirin kamu. Kamu bilang hidup kamu kurang tenang, kan? Mbak cuma bantuin kamu aja buat cari solusi. Tapi Mbak nggak maksa, kok. Kalau misal kamu nggak mau nggak papa."
"Eeeuumm ... gimana ya mbak? Aku rada minder kalau ikut perkumpulan kayak gitu. Mbak tahu sendiri aku gimana. Kelakuanku masih nggak baik, pakaianku juga kayak begini. Nanti malah jadi nggak ada yang nyaman kalau aku ikut kumpul."
"Di dunia ini banyak orang yang tidak baik, Ta. Tapi mereka berusaha memperbaikinya, termasuk Mbak."
Aku menggaruk pelipisku yang tidak gatal. Gimana, ya? Kadang pengen sih ikut, tapi ... apa aku bisa beradaptasi dengan mereka? Lingkungan yang benar-benar berbeda dengan pergaulanku.
" Ya udah deh, Mbak. Hari ini, kan? Jam berapa?"
Mbak Ayana tersenyum lebar, sebelum menjawab pertanyaanku, kelihatannya dia sangat senang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Qanita
SpiritüelUpdate setiap hari Rabu dan Minggu **** Aku punya segalanya. Tampang rupawan, body yang diimpikan hampir semua wanita di dunia, keluarga yang sangat peduli dan menuruti apa pun yang aku inginkan, hidup yang serba berkecukupan, sahabat yang selalu a...