Qanita 10

1.4K 183 16
                                    

Setelah ikut pengajian bersama Mbak Ayana, pikiranku jadi tidak fokus. Berbagai macam pikiran tercampur menjadi satu. Aku bahkan membeli beberapa buku berlatih salat dan membaca alquran.

Rasanya rindu, sungguh, entah sudah berapa lama aku tak menyentuhnya.

Sejak kecil aku sudah memeluk agama Islam, pernah belajar mengaji sampai khatam alquran, tapi karena dasarnya keluargaku memang lebih berjiwa nasionalis, aku juga ikut seperti mereka. Sholat hanya 2 kali setahun—saat hari raya besar agama kami. Saat bulan ramadhan saja, puasa bisa dihitung dengan jari.

Apa memang aku sudah sebegitu jauhnya dengan Allah?

"Kamu mikirin apa lagi sih, Ta?"

Mataku mengerjap, saat seseorang berbicara kepadaku.

"Fokus, deh. Fokus. Kerja."

Sebuah cengiran muncul begitu saja dari bibirku. Ya, aku harus mengingat kalau aku sudah berada di tempat kerja sekarang, baru selesai dimake up.

"Oh iya, kamu pakai baju ini ya." Merry, assistant wardrobe menempelkan sebuah gaun ke tubuhku. "Cocok nih, pas."

Aku memperhatikan gaun itu. Panjang, sih. Tapi ada belahan sampai paha terlihat di sana. Lalu, belahan dadanya pun rendah. Aku bergidik ngeri.

"Mer, Aku boleh pakai baju yang lain aja, nggak? Yang lebih tertutup."

Merry melirik heran ke arahku.
"Aduh, Cintaku. Kamu kenapa sih? Nggak biasanya rewel kayak gini? Ini tuh permintaan sponsor, dan semua modelnya kurang lebih sama kayak begini. Bulan depan juga kamu ada catwalk dengan tema summer, lho
Lebih seksi dari ini. Udah cus pakai aja yaa ..."

"Tapi—"

"Udah cus! Cus! Masih banyak yang ngantri, Beib!"

Dengan terpaksa aku mengambil Baju yang diberikan Merry dan pergi ke ruang ganti.

Ada yang mengganjal dalam hati, sebenarnya aku juga ingin segera bertobat, mengenakan pakaian tertutup, tapi memang inilah pekerjaanku. Aku sudah terikat kontrak dengannya. Kalau sampai aku membatalkan beberapa job, aku bisa kena ganti rugi, baik dari pihak sposor, maupun agency. Bagaimana lagi?

***

"Yang."

"Hm?" Vino menoleh, tersenyum, menampilkan lesung pipinya.

Setelah selesai kerja, dia yang memang sedang ada waktu luang mengantarkanku pulang.

"Bisa berhenti di masjid nggak, Yang?"

Dahinya berkerut. "Hah?"

"Masjid."

"Mau ngapain?"

"Ya ngapain lagi, salat atuh. Nggak denger suata adzan?"

Vino melirikku sekilas, seperti merasa aneh. "Kamu mau salat?"

"FYI, aku muslim btw," dumelku sembari memanyunkan bibir dan Vino tertawa melihatnya.

"Maaf, maaf. Tumben soalnya. Selama beberapa bulan kita pacaran kayaknya baru kali ini aku denger kamu salat. Wah, ada angin apa nih sayangku jadi alim begini," ucap Vino sembari melirik menara masjid yang sudah nampak di sisi kiri jalan.

"Nggak papa. Aku ngerasa banget manfaatnya, kok. Perasaanku jadi lebih tenang saat salat, aku juga jadi tidur nyenyak setelah mendengar murrotal."

Vino hanya ber-oh ria sambil memarkirkan mobil ke tempat parkir masjid kecil yang kami lewati.

"Ya udah, gih! Jangan lama-lama, ya."

Sambil melepas sabuk pengaman, aku meliriknya. "Kamu nggak salat sekalian?"

QanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang