"Maura, kamu serius?" Chris memekik panik di pagi menjelang siang hari itu.
Sementara Maura yang berdiri di sampingnya malah tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala. "Serius, Chris!"
"Tapi, bukan tempat kayak gini yang aku mau!"
Maura menghela napas, lalu menarik tangan putih Chris hingga mereka maju dan kini berdiri tepat di tengah halaman sebuah pondok kecil bernuansa Jawa. "Sama aja. Di sini juga bisa buat belajar membatik!"
Chris mendengkus sejadi-jadinya. Niat hati ingin belajar membatik di tempat yang ... tradisional sekali. Oke, yang ini juga tradisional. Tapi, masa iya dia harus belajar membatik bersama puluhan anak SD?
Maura tertawa. Memang sengaja dia mengajak Chris ke Taman Pintar Yogyakarta. Dari penginapan mereka di Malioboro tinggal jalan kaki karena lumayan dekat. Chris begitu excited saat berangkat, tapi ketika dia sampai di Rumah Membatik, semangatnya hilang diganti ... malas.
Rumah Membatik hari itu dipadati pengunjung anak SD. Padahal sih tidak masalah. "Orang gede juga bisa kok belajar batik di sini, Chris. Kita belajar basic-nya di sini. Nanti kalau hari ini hasilnya bagus, kita bisa pergi ke deket Keraton Yogyakarta buat belajar batik pake kain yang lebar!"
"Beneran ya, Maura?" Chris menoleh lesu. Tapi akhirnya dia menurut saja saat Maura menarik tangannya ke depan, menyeruak di antara anak-anak berseragam kaos merah, lalu meminta selembar kain, papan, dan pensil kepada pendamping.
"Kita duduk di sana aja." Maura kembali menarik tangan Chris sambil mengambil dua bangku kecil dan meletakannya di bawah pohon. Chris duduk dengan malas. Gila, mirip raksasa tidak tahu diri dia sekarang. Tubuhnya tinggi menjulang. Duduk di atas bangku kecil dan itu membuat dia risih bukan main.
"Nah, cara pertama adalah kamu gambar apa aja sesuai selera kamu di atas kain ini, pakai pensil ini," kata Maura sambil menarik tangan Chris agar mau memegang kain dan pensilnya sendiri. "Nanti, setelah gambarnya jadi, kita ke dalam buat ngasih tepian gambarnya pakai malam."
"Kita di sini sampai malam, Maura?"
Maura menoleh lalu menggeleng. "Ya kali kita di sini sampai malam. Malam itu maksudnya lilin panas yang buat membatik. Nanti, bidang yang mau nggak dikasih warna, kamu timpa pakai malam. Udah sekarang kamu gambar dulu deh, Chris."
Chris bergeming. Masih menimbang-nimbang.
"Tunggu apa lagi, Oppa?" Maura bertanya sarkastis.
Chris mengangkat kepala, lalu menunjuk sebuah arah pakai dagunya. Maura menoleh dan seketika ingin tertawa kalau saja nggak ingat Chris adalah majikannya.
Di depan Chris, banyak sekali anak-anak yang berdiri mematung. Mereka menatap Chris dengan heran atau penasaran. Maura tergelak, pantas saja Chris malu. Ternyata dia jadi bahan tontonan di Rumah Membatik. "Hei, Adik-adik." Maura maju lalu jongkok di depan anak terdepan.
"Udah selesai membatiknya?"
"Belum, Mbak," jawab anak itu dengan logat Jawa yang begitu terasa.
"Ya, udah. Batiknya diselesain dulu, kalau mau kalian bisa duduk di sini sama Mas Turis."
Anak-anak itu mengangguk senang. Chris menatap Maura sambil melongo. Apalagi saat anak-anak itu justru kini duduk di dekatnya sambil membawa peralatan masing-masing. Guru pendamping mereka ikut kesengsem. Murid-muridnya paham selera ternyata!
"Maura, aku mesti gambar apa?" Chris menarik tangan Maura supaya tidak jauh-jauh dari dia. Soalnya, gadis itu malah jadi hype gara-gara bertemu anak SD yang lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAIR UNFAIR
ChickLit*Pemenang Grassmedia Fiction Challenge 2020* Kata Praska, Maura itu bodoh dan selalu melakukan segala hal berdasarkan prinsip tapi tanpa pertimbangan. Jadi, saat Maura kehilangan pekerjaan dan membawa pulang beban hutang yang banyak sekali kepada k...