23. Memelukmu di Papandayan

1K 174 4
                                    

Maura dan Chris hunting sunrise di Hutan Mati pagi itu. Nyatanya, setelah Chris nekad mencium kening Maura, keduanya malah sama sekali tidak bisa tidur. Memang, sama-sama menutup mata. Tapi pura-pura.

Chris mengutuk diri. Bodoh katanya. Nekad melakukan skinship ekstrem.

Sementara Maura mengutuk hati. Jahat katanya. Nekad membenarkan hati kalau dia sudah jatuh cinta lagi kepada pemuda lain.

Setelah berhasil menatap fajar merekah, Chris dan Maura melanjutkan petualangan mereka ke dataran yang lebih tinggi lagi, yaitu Tegal Alun, sebuah padang bunga edelweiss yang sangat luas di Gunung Papandayan.

Medan yang dilalui agak lebih menanjak. Didominasi lumpur dan akar-akar yang melintang di sepanjang jalur dengan hutan yang lebih lebat lagi, nyatanya Chris tetap semangat hingga kakinya menapaki Tegal Alun.

Bahagia sekali rasanya. Pemuda itu berlarian ke segala penjuru Tegal Alun, menarik tangan Maura agar berlari bersamanya. Ribuan bunga edelweiss yang bertebaran seolah menjadi saksi bahwa baik Chris mau pun Maura adalah orang-orang dengan kemampuan sandiwara yang tinggi.

Setelah kejadian yang secara tidak langsung sudah menegaskan bahwa keduanya saling jatuh cinta, pagi itu mereka bangun dan bertingkah seperti biasa.

"Jangan dipetik!" Maura berteriak sambil mengangkat tangannya ke arah Chris.

"Buat kenang-kenangan, Maura." Chris merengut, lalu bersiap memetik lagi kalau saja tangan Maura tidak sigap menampiknya.

"Biar di sini bunganya ada banyak, tapi nggak lantas kamu boleh metik semena-mena. Edelweiss ini termasuk bunga yang langka. Harus kita jaga. Baru juga semalam kamu ngomongin buat jadi manusia yang sehat setelah lihat milky way, sekarang udah mau gila lagi?"

Chris meringis kuda. Maura yang mengomel jadi lebih menyegarkan mata di pagi menjelang siang itu. "Maaf, ya. Nggak tahu aku kalau edelweiss nggak boleh dipetik. Eh tapi, kok di Bromo malah dijual gitu?"

Maura memutar bola matanya, lalu mengibaskan tangan sambil pergi ke arah yang lain. "Itu bunga edelweiss hasil budidaya. Jadi boleh diperjual belikan. Kalau yang tumbuh di gunung, nggak boleh! Pendaki yang metik bunga ini, fix, dia idiot! Kamu juga idiot kalau nekad metik."

Chris terbahak. Lalu bergerak menyusul. Merangkul bahu Maura sambil mengarahkan kamera. Satu gambar terbidik. Hasil selfie dengan ekspresi tidak karuan. Chris tertawa lebar, dan Maura melirik tanpa kesiapan.

"Ih, jelek! Ulang-ulang!" Maura merampas kamera Chris lalu membidik wajahnya sendiri. Chris pun ikut-ikutan. Alhasil, mereka menghasilkan banyak foto dengan kelakuan yang sangat absurd.

Chris dan Maura benar-benar menikmati waktu di Tegal Alun. Sampai lupa bahwa hari sudah semakin siang. Padahal, seharusnya di jadwal, jam segitu mereka sudah sedang dalam perjalanan turun dari Pondok Salada.

Begitu mereka kembali ke tenda, Darma merengut di bawah fly sheet bersama makanan-makanan yang mendingin.

"Cie, yang pacaran. Sampai lupa waktu. Udah jam berapa nih? Aku masak sarapan, masak makan siang, jadi mubazir gini," sindir Darma sambil menunjuk ke arah tengah matras.

Ada omelette, beberapa tangkup sandwich, tumis kornet, dan mi instan yang belum diseduh.

"Ya maaf deh. Kita habis dari Tegal Alun. Keren banget, Mas." Chris tersenyum, sambil merayu, dia duduk dan langsung melahap makanan yang ada di sana. Disusul oleh Maura yang juga makan lahap karena kelaparan.

Hingga tidak terasa, sudah pukul tiga sore. Mereka sudah selesai packing dan bersiap turun. Ini benar-benar telat empat jam dari jadwal seharusnya. Tapi, mereka tetap harus turun karena simaksi yang diurus cuma menerangkan bahwa mereka akan mendaki untuk waktu dua hari satu malam.

FAIR UNFAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang