Pagi itu rumah Pak Amim ramai sekali. Empat keponakan datang dari Semarang untuk liburan bersama empat teman lainnya. Pak Amim yang tinggal berdua dengan istri jadi merasa lebih hidup pagi itu. Putra pertama tinggal bersama keluarganya di Jogja. Sementara Rosma, harus menunggu dua tahun lagi sampai kontrak kerjanya habis dan pulang ke tanah air.
Maura yang sudah bangun dari subuh, membantu Bu Aning di dapur. Menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah. Bahkan, Maura juga sudah pergi ke pasar bersama Darma untuk membeli banyak makanan, pakai uang Chris pastinya.
Sementara Chris, masih di kamar. Tidur pulas, mulut nyaris terbuka lebar.
"Ibu, makasih ya, Bu, kami udah dikasih tumpangan tinggal di sini. Kalau nggak ada keluarga Ibu, saya bingung deh harus nginep di mana," kata Maura sambil menata makanan di atas meja. Sementara keponakan Bu Aning yang masih ABG itu sedang berkumpul di depan TV, menikmati jajan pasar yang dibelikan Maura.
"Ih, malah ibu yang jadi nggak enak ini, Mbak. Pakai dibelikan sembako dan makanan segini banyaknya." Bu Aning pun tadi sempat terperangah. Dia tidak menyambut Maura, Chris, dan Darma semalam. Hanya dapat cerita dari suaminya sekilas. Tapi, pagi itu Maura malah yang menyambutnya dengan begitu mewah. "Padahal saya tuan rumahnya, tapi saya malah nggak ngasih suguhan apa-apa."
"Nggak apa, Ibu. Bantuan dari Ibu sama Pak Amim itu luar biasa banget. Suami saya semalam sampai sujud syukur di kamar karena nggak jadi tidur di mobil."
Darma yang sedang minum kopi di dekat Maura lantas terbatuk. Tersedak dan balik badan sambil menepuk-nepuk dada. Suami saya katanya? Maura cepat beradaptasi rupanya.
Maura yang melihat hanya mencebik kesal. Kalau bukan karena Darma, dia juga tidak mau drama.
"Selamat pagi!"
Darma, Maura, Bu Aning, dan empat keponakan Bu Aning serempak menoleh ke arah Chris yang muncul sambil tersenyum cerah. Mukanya masih kusut meski terlihat basah.
Untung keponakan Bu Aning dan teman-temannya itu cowok, coba kalau cewek. Pasti pada histeris begitu lihat ada oppa keren muncul di rumah pagi-pagi.
"Ini pasti Mas Chris, ya?" Bu Aning menyapa sambil menerima jabat tangan dari Chris dengan sopan.
"Iya, Bu. Saya Chris. Maaf ya, Bu, saya kesiangan bangunnya. Jadi nggak bisa bantu apa-apa gini."
"Tenang aja, Mas Chris. Istrimu udah melakukan semuanya dengan baik. Iya ndak, Mbak Mau?" Darma meledek sambil mencomot tempe kemul dan kabur ke depan setelahnya.
Sementara itu Chris dan Maura saling lempar pandang. Awkward bukan main. Mereka ingat bahwa sekarang mereka adalah suami istri bohongan demi sebidang kamar selama empat hari.
Saat Chris dan Maura masih bertingkah kaku, keponakan Bu Aning mendekat semua ke ruang makan. Lantas mengerubuti Chris sambil cengengesan tidak jelas.
"Budhe, ini untung si Niken nggak ikutan. Coba kalau ikutan, bisa histeris dia pagi-pagi lihat orang ganteng ada di sini," celetuk Anjar, salah satu dari remaja-remaja itu.
"Iya, Niken itu ya kalau lihat Korea-Koreaan pasti ngejerit. Mas Oppa, nanti kita foto boleh, ya? Mau aku pamerin sama saudara-saudaraku di Semarang nanti."
Chris tergelak. Anak-anak itu lucu sekali. Meski cowok, histerianya nyaris menyerupai anak cewek. "Hei, karena kita sama-sama cowok, panggilnya jangan oppa dong. Tapi hyeong."
Anak-anak itu lantas tertawa sambil berseru serempak, "Okeee, Hyeong!"
"Tapi, jangan panggil hyeong. Dia maunya dipanggil mas atau kak aja." Kini Maura yang angkat bicara. Dia saja mau panggil oppa dilarang, masa anak-anak itu diperbolehkan panggil hyeong.
Beberapa saat kemudian, mereka semua berkumpul bersama, lesehan di depan ruang TV untuk sarapan bersama. Menunya sederhana. Tempe goreng, telur dadar, tumis buncis, dan sup ayam.
Chris diberondongi banyak pertanyaan. Mulai dari kenapa dia ada di Indonesia, bagaimana bisa dia lancar berbahasa Indonesia, dan kenapa dia menikah dengan Maura.
Maura nyaris tersedak. Sementara Chris hanya tergelak. "Maura orangnya baik. Tulus lagi. Jadi ya, sebelum dia nikah sama orang lain, mending aku nikahin duluan."
"Heeem, aku tahu. Mas Chris sama Mbak Maura ini lagi honeymoon, ya? Berarti, ituan-ituannya di kamar Mbak Rosma dong?"
Bu Aning tampak berdeham lalu mencubit Anjar sambil menegur, "Anjar yang sopan dong ngomongnya."
Chris tersenyum kuda, lalu dia menyenggol siku Maura yang menikmati makanannya dalam diam. Too much drama will kills you, jadi Maura berusaha cari aman.
"Eh, Mas, Mbak, festivalnya kan baru mulai besok. Hari ini mau ada rencana ke mana?"
Chris mau menjawab, tapi sadar bahwa dia tidak punya jawaban apa-apa. Kan, seluruh kegiatannya diatur sama Maura.
"Hari ini belum ada rencana sih, Dik. Paling nanti mau jalan-jalan ke telaga atau ke kawah."
Doni mengangkat tangan lalu mengalihkan atensi Maura dari Anjar. "Ikut kita ae, Mbak. Kita mau ke desa sebelah. Ada pesta nikahan di sana."
"Lah, kamu ngajakin aku sama Chris kondangan?"
Doni menggelengkan kepala. "Bukan. Jadi, yang punya hajat itu nanggep ebeg gitu loh. Apaan sih namanya ebeg tuh?"
"Kuda lumping, Don. Ah ndeso banget sih kamu." Anjar mencibir, tapi lantas tersenyum sambil kembali lihat ke arah Chris. "Iya, Mas Chris. Ikutan nonton kuda lumping, yuk."
Chris menyelesaikan makanannya lalu minum dan balik bertanya, "Ntar dulu. Kuda lumping itu apa?"
"Udah ikut aja. Paling nanti juga suka." Maura terkekeh. Chris versus kuda lumping, sepertinya seru? Siapa yang akan jadi tontonan, ya? Kuda lumpingnya, atau malah Chris?"
***Fair Unfair***
Kabar gembiraa, sebentar lagi Fair Unfair akan masuk proses Pre Order.
Akan ada bonus menarik untuk pembaca yang beruntung loh.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAIR UNFAIR
ChickLit*Pemenang Grassmedia Fiction Challenge 2020* Kata Praska, Maura itu bodoh dan selalu melakukan segala hal berdasarkan prinsip tapi tanpa pertimbangan. Jadi, saat Maura kehilangan pekerjaan dan membawa pulang beban hutang yang banyak sekali kepada k...