Berawal dari keputusan orangtuaku tentang pendidikan menengah pertamaku. Aku sendiri tidak ingin ambil pusing, karena setelah pindah ke kota ini seluruh keputusan aku limpahkan kepada keluarga. Aku hanya manut, ikut dan menurut. Ya, tidak masalah dimanapun kita melanjutkan pendidikan, baik negeri maupun swasta. Karena yang menentukan adalah diri kita sendiri, kita mampu atau tidak melewati jenjang pendidikan dengan baik dan memuaskan. Dan, pilihan orangtuaku jatuh pada sekolah negeri di sudut kota Serang. Not bad. Sekolah yang cukup terpencil, namun memiliki lingkungan yang luas. Aku bahkan sempat merasa tidak akan lulus seleksi. Namun ternyata, aku diterima.
***
Sehari sebelum MOS
Pagi-pagi sekali aku sudah bergegas ke sekolah. Karena menurut informasi dari kakak panitia, hari ini ada pembinaan tentang MOS yang akan dilaksanakan senin esok. Mau tidak mau, suka tidak suka aku harus rela memangkas waktu ngebo yang harusnya full, tapi sirna tak bersisa.
Setelah melalui rute penuh rintangan, berada di sesaknya angkutan, dan lelahnya berjalan, aku sampai di depan gerbang sekolah. Aku melangkah tanpa ragu, bahkan menurutku saat itu aku terlalu selengean untuk ukuran calon siswa. But, it's me and I love me too.
"Yaela, dimana sih gugus 7? Capek bener dah gue nyari ruangan tapi gak nemu pencerahan." Aku menggerutu di sepanjang koridor, karena gugus 7 yang aku dapat sebagai kelasku tak kunjung aku temukan. Mungkin jika kalian lihat ekspresiku saat itu, aku mirip sekali kucing bunting yang sensitif jika tidak sengaja terpegang. Dan...
"Eh, lo lagi nyari ruang berapa?" Seseorang entah datang dari planet mana berani menyentuh bahu kucing bunting yang sensitif.
"Apasih lo? SKSD! Gue bisa nyari sendiri." Aku menghentakkan bahu dengan sedikit bertenaga agar tangan itu enyah dari sana, tanpa menoleh ke arahnya.
"Santai kali bous. Gue cuma nanya. Dan kali aja gue bisa bantu ngasih tau." Bisa aku dengar dia sedikit kesal atas responku tadi.
"Tapi kalau lo gak butuh bantuan, gue gak maksa." Lanjutnya seakan ini adalah sebuah kepasrahan sekaligus ancaman.
Karena kesal, aku membalikkan tubuhku untuk melihat siapa orang itu.
"Gue juga gak-" Kalimatku terhenti ketika melihat siapa orang yang sedari tadi bicara.
"Kenapa? Kok lo kaget gitu? Gue ganteng?"
"Ma-maaf, kakak panitia OSIS ya?" Aish bodoh, jelas saja. Seragam yang dia pakai sudah menjawab pertanyaan retorik ini.
"Bukan. Gue cuma bala tentara dari pramuka aja." Aku melihat tatapan intimidasi darinya.
"Maaf ya kak, sekali lagi maaf. Saya kira-" Aish belum selesai, seenak jidatnya memotong setiap kata.
"Belum lebaran neng. Gue tau kok. Lo mana tau siapa yang nanya lo, kalau lo aja gak nengok." Sekali lagi, nada bicaranya begitu menjengkelkan. Sabar, sabar.
"Iya kak, maaf karena saya gak sopan tadi." I'm swear, malas sekali rasanya mengucapkan kalimat ini.
"Santai. Lo belum jawab gue btw."
"Jawab apa ya kak?"
"Lo cari ruangan berapa?"
"Oh, saya nyari gugus 7. Tapi gak ketemu."
Dia menatapku dengan ekspresi menahan tawa seakan aku sudah mengatakan sesuatu yang lucu.
"Hahaha. Ya jelas lo gak akan nemu. Di sini bukan kelas yang dipake buat MOS." Please, kok bodoh dipelihara?
"Maksud kakak?" Inisih namanya bodoh kuadrat.
"Ck, yaudah ayo lo ikut gue." Tanpa mendengar jawabanku, dia berjalan meninggalkanku dengan malu yang tak tertahankan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia
Teen FictionMasa lalu memang bukan untuk dikenang. Namun tidak pula untuk dilupakan. Buruk, baik, manis, pahit, semua itu ialah asset hati. Hargai dan simpan dengan bijak.