Aku yang sedang berada di ujung kepekatan.
Tenggelam di ruang kelam tanpa pencahayaan.
Lalu, kamu datang.
Membawa setitik cahaya dari lilin yang masih utuh; satu.
Kamu berjalan ke arahku, menggapai jemariku, mengajakku keluar dari pekatnya gelap.
Saat itu, bukan hanya aku, namun hatiku turut tergapai olehmu.
Selalu ada di genggaman kokohmu.
Meski mungkin yang kamu genggam sudah tidak ranum dan utuh.
Aku terus berjalan, mengekori setiap langkahmu yang menggenggam aku juga hatiku.
Lalu, kutemui lekuk jalan penuh bintang dalam gemerlap.
Tidak lagi hitam pekat.
Kamu ada di hadapanku dengan senyum teduh yang detik itu juga membuat piluku luluh.
Kita terus berjalan bersama, hingga tanpa sadar ada jurang di depan sana.
Lalu, kamu menahanku untuk tetap di titik ini, di genggamanmu, agar tidak terpelosok(lagi).
Namun, aku dan egoku begitu takut.
Hingga yang aku pilih adalah berlari.
Meninggalkanmu dan hangat genggamanmu.
Panggil aku bodoh.
Karena, sejauh apapun aku berlari, aku dan hatiku tetap akan di sana; di genggamanmu.
Karena, sedari awal kamu datang, aku telah setuju akan satu hal; berteduh di genggamanmu yang utuh.
Meski yang kamu tau aku sudah meninggalkanmu; berlari jauh.
Namun, aku dan hatiku tetap ada di genggaman hangatmu.
Meski kamu tidak tau, tentang aku dan hatiku.-Whistleanic-
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia
Teen FictionMasa lalu memang bukan untuk dikenang. Namun tidak pula untuk dilupakan. Buruk, baik, manis, pahit, semua itu ialah asset hati. Hargai dan simpan dengan bijak.