Sudah genap satu bulan Salma terbaring lemah di ruang ICU dengan bantuan alat – alat medis yang menempel di tubuhnya. Gadis itu seakan sudah muak dengan kehidupannya dan enggan untuk membuka matanya.
"kapan lo bangun Sal?"
Aldi terus saja menggenggam tangan mungil Salma yang tidak di infus dengan erat. Selama Salma di rawat, Aldi tidak pernah absen untuk menemani sahabat kecilnya itu.
"lo ngak capek apa tidur mulu? Gue aja yang ngeliatin lo capek" Aldi menatap intens wajah damai Salma. Ia benar benar takut kehilangan gadis yang sudah ia jaga mati – matian.
"lo ngak tahu Sal, betapa frustasinya gue pas tau lo masuk rumah sakit. Gue khawatir sama lo Sal, please bangun Sal!"
Untuk ke dua kalinya Aldi menangis di depan Salma
"gue sayang sama lo Sal. Apa lo marah sama gue sampe – sampe lo ngak mau bangun?"
Tak ada jawaban dari pertanyaan Aldi. Hanya suara alat – alat rumah sakitlah yang terdengar di ruangan ICU tersebut.
Aldi menggenggam erat dan mencium tangan dingin Salma. Tak kehangatan yang Aldi rasakan di genggaman tangan itu, yang ia rasakan hanya tangan Salma yang semakin lama semakin dingin dan pucat.
Tiba – tiba alat penopang hidup Salma berbunyi nyaring dan berubah menjadi sebuah garis. Aldi langsung keluar dari ICU dan memanggil dokter serta suster.
"dok tolongin Sahabat saya dok!"
Aldi keluar dari ruang ICU dan duduk di kursi yang ada di koridor rumah sakit. Fikirannya benar – benar buyar sekarang. Hal paling ia takutkan seumur hidupnya akan terjadi dan ia tidak akan siap ketika semua itu terjadi.
Aldi menarik rambutnya frustasi. Ia benar – benar takut
"lo bodoh Di!, lo bodoh!. Lo gagal jagain Salma! Lo cowok ngak guna!" Aldi terus saja memaki dirinya sendiri. Ia tidak akan memaafkan dirinya bila hal yang selama ini ia takutkan akan terjadi.
Setelah hampir 1 jam, dokter keluar dari ruangan ICU bersama para suster. Aldi yang melihat dokter keluar langsung bangkit dan menghampiri dokter tersebut.
"gimana keadaan sahabat saya dok?"
Dokter itu menggelengkan kepalanya lemah sebelum menjawab pertanyaan Aldi "kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi nyawa pasien sudah tidak bisa tertolong lagi"
Bagaikan sebuah sambaran petir, tubuh Aldi langsung menegang mendengar pernyataan yang keluar dari mulut dokter tersebut
"anda bercanda kan dok? Salma ngak mungkin meninggal kan dok?"
Dokter tersebut hanya menghela nafasnya kasar lalu menepuk bahu Aldi "semua sudah ketentuan Tuhan dan kami tim medis sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong pasien"
Dokter tersebut langsung pergi meninggakan Aldi yang bahunya sudah bergetar hebat. Aldi masuk ke ruang ICU dan langsung memeluk perempuan yang amat sangat ia sayangi itu.
"lo kenapa ngak bangun Sal?! Kenapa?!"
Hal yang paling ia takutkan selama ini telah terjadi. Ia kehilangan sosok gadisnya itu. Ia memegang erat tangan dingin itu. Sudah tak akan ada lagi senyum manis yang tercetak jelas di wajah cantik gadis itu. Sudah tak akan ada lagi gadis yang selalu bersandar dibahunya dan memeluknya erat. Semua itu kini hanya sebuah angan semata. Semuanya sudah hilang.
Aldi menatap wajah pucat Salma dengan tatapan sendu. "kenapa lo ninggalin gue Sal? Bukannya lo udah janji sama gue buat selalu ada di samping gue?"
Pipi Aldi sudah basah dengan air mata yang sedari tadi keluar dari kelopak matanya. Ini adalah hari yang banar – benar ia benci seumur hidupnya. Sudah cukup ia kehilangan adik perempuannya dan untuk ke dua kalinya ia kehilangan gadis yang sangat ia sayangi (lagi)"
"gue sayang lo Sal"
Aldi mengecup kening Salma. Ia benar – benar belum siap. Ia berharap semua yang terjadi saat ini hanyalah sebuah mimpi semata. Ia berharap ketika ia bangun wajah Salma lah yang pertama kali ia lihat. Tapi takdir berkata lain, semuanya sudah terjadi. Dan untuk ke dua kalinya ia kehilangan sosok yang sangat berpengaruh di dalam hidupnya.
"Cuma lo satu – satunya gadis yang berhasil masuk dan terkunci di hati gue, Salma Adriana"
-*****-
YOU ARE READING
The Past
Short Storyketika luka yang belum sembuh bertambah lagi dengan luka baru, serta penyesalan selalu datang di akhir cerita