F I F T E E N

34 7 0
                                    

Sekarang aku tau mengapa Aludra menangis seperti itu.

Ia mempunyai rasa cinta terhadap Kenzie. Dan cintanya bertepuk sebelah tangan.

. . .

Aludra POV

     "Udah merasa lebih baik?" tanya Lian sambil mengambil gelas minumanku.

Dengan tatapan kosong aku mengangguk tanpa semangat lalu menunduk tanpa alasan.

"Makasih ya kak udah dianterin sampe rumah." ucapku datar. Aku tidak berani melihat wajahnya sekarang.

Lalu ia mengelus puncak kepalaku seraya berkata, "santai aja, Dra."

Kurasa ia sedang tersenyum tanpa aku harus melihat wajahnya.

"Lho? Zarine kamu udah pulang?" tanya seseorang dari arah depan.

Aku langsung mendongak dan menemukan Tante Tyas berada disana sambil membawa kantong belanjaan putih. Tidak lama kemudian disusul Clarine di belakangnya.

"Ah tante! Kemarin dia yang nganterin kak Zarine juga!" Clarine menunjuk-nunjuk Lian yang sedang bingung.

Tante Tyas langsung menatapku dan Lian secara bergantian.

"Aku mau bicara nanti." bisik Tante Tyas sambil melewatiku dan ia masuk ke dalam.

Aku menghembuskan napas pasrah lalu menoleh ke Lian yang menatapku dengan penuh penjelasan.

"Sebaiknya lo pulang kak,"

"Kenapa?"

Kenapa? Karena kalau lo terus berada di sini nyawa gue terancam.

"Udah sore. Lagipula rumah lo kan jauh." ucapku setelah menemukan alasan yang masuk akal.

Lian mengangguk-angguk lalu bangkit dari duduknya. "Yaudah kalau gitu gue balik ya. Salam ke Ibu lo."

Aku tersenyum miris.

Asal lo tau, dia bukan ibu gue.

"Iya kak hati-hati."

Lian berbalik lalu menatapku lagi, "lo yakin gak apa-apa?"

"Iyaa, santai aja." aku menirukan ucapan yang dia bilang ke aku beberapa menit yang lalu.

"Kabarin gue, oke?"

Aku berjalan ke gerbang lalu menutup gerbangnya saat motor Lian sudah keluar dari halaman parkir rumah ini.

Saat aku berbalik, Tante Tyas berada di depan pintu dengan tangan yang dilipat di dada dan pandangan yang jutek.

"Itu siapa?" tanyanya sinis.

Aku mengambil tasku yang terletak di bangku teras lalu berjalan melewatinya.

Tiba-tiba ia menarik bajuku yang membuatku terpaksa menatap wajahnya.

Ia menangkup pipiku, "Dia siapa?" ia mengulang pertanyaannya.

Aku menepis tangannya dari pipiku lalu menjauh dari dirinya. "Bukan urusan Tante." ucapku sedatar mungkin walaupun nyaliku sudah menciut.

"Tentu saja kamu urusan saya! Lagipula Firza sendiri yang bilang ke saya bahwa kamu dilarang keras berpacaran!" bentaknya tiba-tiba yang membuatku kaget.

Aku terkejut dengan apa yang ia bicarakan. Apalagi ia membawa nama Papa kali ini. Lalu terjadi keheningan di antara kami berdua.

"Oh iya? Lalu saat aku sakit, Tante kemana? Saat Papa mukul aku, Tante kemana? Saat aku lagi butuh tempat buat curhat, Tante kemana?" ucapku cepat.

AludraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang