T E N

51 6 0
                                    

Aludra POV

    Kau tahu? Dulu Aku menjadikan Ayahku sebagai role modelku. Dulu aku mengangguminya karena dia adalah orang yang hebat. Ia tahu segalanya. Saat Aku bertanya tentang pekerjaan rumahku ia dapat menjawabnya dengan gampang.

Tapi semua itu hanya dulu. Saat dirinya belum membunuh Ibuku dan dia belum masuk penjara seperti sekarang. Aku tidak menjadikan dirinya sebagai role modelku lagi. Mungkin kasarnya Aku tidak mau menganggapnya sebagai Ayahku lagi.

Dan sekarang aku disini akibat paksaan dari Nina. Ya, dia baru saja kukasih tau sedikit rahasia tentang diriku. Dan Nina cukup terkejut mendengarnya.

Aku melangkah masuk ditemani Nina disampingku. Jujur, sebenarnya kalau bukan akibat paksaan Nina aku tidak akan berada di tempat busuk ini. Biar kuingat, terakhir aku kesini kapan? Ah iya, saat hari kedua dia dipenjara.

"Aku ingin bertemu dengan ayahku-- ah maksudku dengan Pak Firza." ucapku dengan petugas dengan wajah garang dihadapanku ini.

"Baiklah, waktumu 30 menit." ucapnya. Tidak lama kemudian ia memanggil nomor napi Ayahku untuk segera bertemu denganku melalui sebuah bilik seperti telpon umum dijalanan, bedanya jarak kami berdua hanya dibatasi dengan kaca tipis dan meja.

Nina hanya menunggu di depan. Ia menyemangatiku. Aku tersenyum lalu melanjutkan jalanku.

Aku duduk di seberang dan menunggu Ayahku disana. Tidak lama kemudian ia datang dengan pakaian oranye khas narapidana. Ia memandangku lalu tersenyum sekilas.

Aku mengangkat telepon genggamku begitupun dengan dirinya.

Sudah sangat lama diriku tidak berbicara dengannya. Jadi, apa yang harus aku mulai?

"Mulailah dari hal sederhana, kau ucapkan halo dan apa kabarmu?"

"Halo?" akhirnya aku mengucapkan sepatah kata.

"Halo, anakku. Apa kabarmu?" tanyanya. Aku tersenyum miris. Ia masih menganggapku sebagai anaknya, sedangkan aku tidak menganggapnya sebagai ayahku. Betapa durhakanya diriku.

"Eum, ya aku baik-baik saja seperti yang kau lihat, Pa."

"bagaimana denganmu?" tanyaku demikian.

Ia mengangguk. "Aku baik-baik saja, anakku. Tidak perlu khawatir." tidak, Pa, aku tahu kau tidak baik-baik saja saat ini. Aku tahu itu.

Aku meresponnya dengan anggukan kepala.

"Apa yang membuatmu kesini, Rara?" tanyanya.

"Rara takut, Pa! Di kolong tempat tidurku ada monster!"

Serius, kalau aku boleh jujur aku sangat rindu setiap ia memanggilku dengan sebutan itu. Hanya dirinyalah yang memanggilku demikian. Aku tidak ingin menangis disini. Semua akan sia-sia jika pada akhirnya aku menangis. Aku menarik napasku untuk menahan jatuhnya air mata yang sudah sedari kutahan.

"Aku hanya rindu kepadamu. Apa itu salah?" jawabku. Rasanya aku ingin menangis saat ini juga.

"Aku akan temani kau tidur, jadi monster itu tidak akan menganggumu lagi,"

Ia mengusap tengkuknya, "aku juga, Rara. Tapi aku bahkan tidak bisa pulang ke rumah hanya sekedar melihatmu atau memelukmu. Papa rindu padamu, bahkan mungkin rindu Papa melebihi semuanya."

Ucapannya benar-benar menghancurkan pertahananku.

"Setiap hari Aku memikirkanmu dari sini. Apakah kau sudah makan dengan baik hari ini? Apakah kau mendapat nilai yang bagus disekolah? Apakah kau mendapat teman? Apaka--"

AludraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang