Keberangkatan

37 2 3
                                    

Jam dinding di kantor menunjukkan pukul 12.00 yang berarti telah memasuki waktu istirahat. Hegar menuju meja kerjaku dengan membawa bekal makanan di tangannya.

"Nanti malam janjian sama siapa?" Tanyaku menyambutnya sebelum dia langsung duduk di sampingku.

"Janji sama pacarku. Tapi gak jadi" jawabnya sembari membuka bekal makanannya buru-buru layaknya orang kelaparan.

Hegar bersikap aneh, dia mulai tidak terbuka kepadaku. Perihal janji bertemu kekasihnya, semestinya hal seperti itu tidak perlu ditutupinya.

"Sen, kamu mau ngomong apa sih? Kemaren katanya mau ngomong penting", Hegar menatapku penasaran, belum juga selesai mengunyah makanan dalam mulutnya, dia sudah menambah sesuap lagi untuk memenuhi kemauan perutnya.

"Aku jadi pulang ke Jogja, Gar. Surat resignku sudah disetujui. Minggu depan aku balik", kali ini aku yang menatap Hegar lekat. Sudah tidak diragukan lagi, dia diam seribu bahasa. Hegar menyudahi kunyahannya, bekal makanannya tidak dihiraukan sama sekali.

"Gak usah becanda deh. Minggu depan kan kamu pulang kampung, kan mau lebaran." Hegar mengerutkan dahinya, dan sedikit mendekatkan tubuhnya ke arahku untuk membatasi suaranya didengar orang lain.

"Aku serius, Hegar. Kalau gak percaya, tanya sama Pak Danu aja. Minggu depan antar aku ke bandara ya!" Pintaku serius.

"Siap, Nyonya", Jawab Hegar yang sibuk melanjutkan makan siangnya.

----Bandara Keberangkatan Halim Perdana Kusumah---

"Seeen, Senaaaa, sini!", teriak seorang pria yang suaranya sangat kukenal. Hegar melambaikan tangannya dari lalu lalang manusia-manusia yang menambah kesibukan bandara. Aku membalas lambaian tangannya dan segera menghampirinya.

"Katanya mau ngantarin ke bandara. Gimana sih?!", perasaanku kesal bercampur sedikit tenang. Setidaknya masih dapat bertemu dengannya sebelum kepergianku ke Jogjakarta.

"Sorry, Nyonya", balasnya dengan wajah pura-pura tidak berdosa.

"Hai, Sena. Apa kabar?", Seorang wanita dengan suara lembut baru saja tiba di samping Hegar. Ternyata Hegar tidak sendirian, dia membawa serta kekasihnya. Aku ingin rasanya cepat-cepat melangkahkan kakiku ke ruang tunggu keberangkatan. Tangan Mikaela dengan sigap merangkul lengan kanan Hegar, memberitahukan kepada dunia bahwa Hegar miliknya yang tidak bisa diganggu gugat.

Memeluk BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang