2

10.4K 546 16
                                    

Pertemuan Elisa dengan wanita paruh baya itu mengubah pikirannya. Pada akhirnya setelah mengumpulkan tekat ia kembali pulang ke rumah.

Orang tua Elisa keluar kota selama satu minggu, sehingga ia tidak perlu khwatir memikirkan alasan yang harus ia sampaikan untuk menjelaskan kondisinya saat ini. Elisa mengetuk pintu rumah, tak lama menunggu Bik Sri membuka pintu untuknya.

"Bik, Bik Sri," ucap Elisa saat sebelum kehilangan keasadarannya.

"Ya Allah Non, Non .... Pak, Non Elisa Pak," Bik Sri memanggil suaminya.

Mendengar suara istrinya, Pak Mahmud segera menghampiri Bik Sri. Ia terkejut mendapati wajah putri majikannya yang lebab dibagian sudut mata dan baju yang dipakinya sobek dibeberapabagian. Berbagai dugaan seketika tercetus dalam otak laki-laki paruh bayah itu.

Pak Mahmud segera membantu istrinya mengangkat Elisa ke kamar tamu saat melihat istrinya yang tampak kesusahan memapah tubuh Elisa.

"Apa yang terjadi?" tanya Pak Mahmud pada istrinya.

"Kurang tahu Pak, saat pulang keadaan Non Elisa sudah seperti ini," jawab Bik Sri sembari membelai wajah Elisa.

"Ya sudah, ambil es batu dan kompres wajahnya. Kejadian ini, besok baru kita tanyakan pada Non Elisa. Untuk sekarang jangan beritahu Tuan dan Nyonya dulu."

"Iya Pak."

Perlaham malam semakin gelap, Elisa tampak ketakutan dalam mimpi. Bik Sri yang berada disamping Elisa terbangun, mendengar igauanya.

"Ya Allah Non ... Non demam," ucap wanita paruh bayah itu saat menyentuh kening Elisa.

Bik Sri segera ke dapur mengambil basom berisi air hangat untuh mengopres Elisa. Elisa terbangun saat kain basah itu menyentuh keningnya.

"Bik ...," panggil Elisa dengan suara yang lemah.

"Iya Non," jawab wanita paruh bayah itu menahan tangis melihat keadaan Elisa.

"Rahasiakan ini dari Ibu dan Ayah," ucap Elisa.

"Tapi Non-"

"Elisa mohon Bik," kata Elisa memohon, memotong ucapan Bik Sri.

Bik Sri mengahapus air matanya. "Iya Non ... Non Sekarang istirahat yah," ucap Bik Sri dan kembali menyelimuti Elisa yang tampak begitu rapuh.

~~~***~~~

Satu bulan berlalu, sejak kejadian nahas yang menimpa Elisa. Ia mencoba hidup sebagaimana biasanya terus tersenyum pada orang tuanya seolah tidak terjadi apa-apa, meski setiap balasan senyum dari orang tuanya rasanya seperti pisau yang terus mengoyak jantungnya. Ia telah mengecewakan dua orang yang telah berjuang membersarkannya.

Satu bulan yang lalu Elisa pulang dalam keadaan yang sungguh jauh dari kata normal untuk ukuran gadis yang baru pulang dari pesta akhir tahun sekolah. Dengan baju yang sobek dibeberapa bagian serta memar di lengan dan pergelangan tangan, itu cukup menjadi saksi kejadian mengerikan yang dialami gadis itu.

Hanya dua orang yang tahu bagaimana kacaunya Elisa malam itu. Bik Sri pembantu dan Pak Mahmud. Namun rengekan Elisa membuat mereka memilih diam dibandingkan mengadu pada kedua orang tua Elisa.

"Elisa kalau Ibu perhatikan, akhir-akhir ini kamu kok sering murung sayang?" Wanita paruh baya itu mendekati Elisa yang kini tengah menatap taman belakang rumahnya.

"Hanya perasaan Ibu saja, Elisa baik-baik saja Bu," jawab Elisa sembari memberi senyum pada ibunya.

"Alhamdulillah kalau kamu baik-baik saja. Kamu harus jaga kesehatan! satu minggu lagi kamu masuk kuliah. Ibu tidak mahu anak Ibu pucat di hari pertamanya kuliah," kata wanita itu sembari mencubit manja hidung anaknya, kebiasaan yang selalu ibu dan anak itu lakukan kala bercanda.

Embun yang Ternoda | Terbit "Menuju Cahaya"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang