1

13K 761 13
                                    

Seolah mati rasa, dingin angin malam menembus kulit tak dihiraukan Elisa. Elisa terus berjalan dengan tubuh ringkih yang dipenuhi lebam membiru dilengan dan kaki bekas ikatan tali.

Segala lebam di tubuh Elisa menjadi saksi betapa mengerikannya kejadian yang ia alami beberapa jam yang lalu. Wajah yang memerah bekas tamparan dan sudut mata yang membiru bekas benturan benda tumpul menjadi bukti setiap penolakan Elisa dan perlakuan kasar laki-laki bernama Reihan itu sebelum ia kehilangan kesadarannya. Laki-laki yang dulu mengumbar kata cinta untuknya.

Elisa terus berjalan tanpa alas kaki, menembus keheningan malam, tak menghiraukan bahaya yang mungkin saja akan menimpanya. Ia bahkan tidak perduli pada mobil-mobil yang membunyikan klakson, karena hampir menabrakya. Entahlah, saat ini tidak ada lagi yang membuatnya takut, bahkan kematian seolah lebih baik.

Rasa sakit pada tubuhya pun tak lagi Elisa perdulikan. Apa lagi yang lebih sakit bagi seorang wanita dibandingkan kehilangan kesucian dengan cara pemerkosaan? Bagaikan bung yang kehilangan harumnya, seperti itulah Elisa saat ini. Tidak akan pernah ada wanita yang mau diposisi Elisa, bahkan mereka yang biasa disebut sebagai wanita penghibur, tidak akan ada yang dengan suka rela dan merasa bahagia jika diperkosa.

"Aku membencimu, Reihan. Aku membencimu."

Kalimat itulah yang Elisa ucapkan untuk memberikan kekuatan pada kakinya agar tetap melangkah. Tak ia hiraukan jalanan kota Jakarta yang mulai tampak lenggang dan sepi, seiring gelaopnya malam. Tujuannya hanya satu, berjalan sejauh mungkin dari gedung yang menjadi saksi kehancurannya.

Air mata Elisa terus mengalir disepanjang jalan yang ia lewati. Tanpa sadar kini Elisa tengah berada di jembatan. Kakinya berhenti melangkah, dipandanginya pembatas jembatan yang seola-olah memanggilnya dan menyuruhnya untuk melompat, seperti mantra yang terus membujuk Elisa.

Tatapan mata Elisa tampak kosong, ia melangkahkan kakinya ke pembatas antara jempatan dan sungai yang berada di bawahnya. Elisa melihat aliran suangai, menilai seberapa dalam dan deras sungai itu. Akankah ia langsung mati jika terjun dari jempatan ini? Apakah tubuhnya akan hancur ketika menghantam bebatuan sungai? Tidak ada lagikah rasa sakit yang akan ia rasakan jika terjun ke bawah sana? Segala pertanyaan itu berputar di otaknya dan semakin mengodanya untuk melompat.

Perlahan dengan tatapan yang hampa penuh rasa putus asa, Elisa menaiki pembatas jembatan. Ia menutup matanya sembari, berpikir mungkin ini akan menjadi kesakitan terakhirnya. Ia tak perlu menatap dunia yang akan memandangnya hina karena menjadi wanita yang ternoda.

Elisa tak perlu melihat wajah kecewa orang-orang yang ia sayangi. Ia tak perlu melihat bagaimana orang-orang akan mencemohnya. Bayangan wajah ayah dan ibunya terlintas di kepala Elisa membuat air mata mengalir dari matanya yang tertutup. Dengan hati yang pasti, Elisa menarik nafas dan mulai menghitung mundur kehidupannya di dunia.

Satu

Dua

Tiga

Tarikan kuat pada lengan Elisa membuatnya terduduk di tepi pembatas jembatan. Pelan tanpa menghiraukan orang yang menarik tubuhnya, Elisa kembali bangkit dan menaiki pembatas jembaatan.

Wanita paruh baya itu kembali mengejar Elisa. Kali ini ia memeluk tubuh Elisa dan menariknya, hingga keduanya sama-sama terhempas ke jalan raya.

"Apa yang kamu lakukan, Nak?" pertanyaan itu meluncur dari wanita yang kini tengah berjongkok di depan Elisa.

Wanita itu menangkup kedua pipi Elisa. Elisa hanya menatap wanita itu dengan tatapan yang memancarkan cahaya keputusasaan. Tidak ada harapan hidup terpancar dari mata itu.

"Nak, bunuh diri bukanlah sebuah solusi, dengan bunuh diri masalah tidak akan selesai. Hanya akan timbul masalah baru. Coba kamu pikirkan bagaimana wajah sedih orang tuamu mendapati anaknya yang terbujur kaku? Mereka akan sedih dan merasa gagal sebagai orang tua. Apa kau ingin melihat orang tuamu seperti itu?" Wanita paruh bayah itu membelai wajah Elisa.

"Bunuh diri adalah sebuah dosa Nak, di mana setiap pelakunya tidak akan memperoleh ampunan dari Allah. Permasalahan yang kamu anggap sekarang berat tidak akan seberat siksa api neraka, tubuh manusia yang lemah ini tidak mungkin mampu menanggungnnya. Bukan cuma kamu yang memiliki permasalahan, semua orang memiliki masalahnya masing-masing." ucap wanita paruh baya itu sembari memeluk tubuh Elisa.

"Di mana rumahmu, Nak? Biar Ibu antar."

"Te ... terima kasih Bu, saya bisa pulang sendiri." Elisa tergagap sembari berjalan menjauhi wanita paruh baya itu.

"Ini ambilah." Wanita paruh baya itu mengejar Elisa sembari menyerahkan beberapa lembar uang pada telapak tangan Elisa.

"Dengarkan Ibu, jika kamu memilih mati dengan cara bunuh diri. Di akhirat nanti kamu akan terus mengulang cara kamu membunuh dirimu dan seorang anak yang bunuh diri tidak akan mampu menyelamatkan orang tuanya, bahkan bisa saja menjadi pemberat dosa Ayahnya ... Pikirkan orang tuamu! jangan tambah beban mereka dengan rasa bersalah karena melihat anaknya mati bunuh diri." Elisa tertegun mendengar ucapan wanita paruh baya itu.

"Tuhan tidak akan memberikan permasalahan yang melebihi kemampuan hamba-Nya. Percayalah Tuhan punya solusi permasalahanmu saat ini, kamu hanya perlu meminta pada-Nya."

Elisa terus berjalan, meninggalkan wanita paruh baya yang kini tak lagi mengejarnya. Mencoba mengacuhkan perkataan wanita itu meski ucapan wanita itu terus berputar di otaknya dan menekan batinnya.

Ketika Elisa mulai menjauh dari wanita paruh baya itu, seketika ia terduduk di atas aspal yang dingin, air mata mengalir dari sudut matanya, ia menangis, meraung sembari terus memohon ampun pada Sang pemilik kehidupan.

"Ya Allah, ampuni aku."

"Ampuni aku."

Jangan lupa baca Al-qur'an meski sangat menyukai novel tetap luangkan waktu anda untuk membaca Al-Qur'an dan perbanyak puasanya ukhtifillah mumpung bulan syaban kecuali dua hari sebelum bulan romadhon.

Jangan lupa klik bintang

Embun yang Ternoda | Terbit "Menuju Cahaya"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang