5

9.5K 505 16
                                    

Note : jangan baca diwaktu-waktu sholat! jika belum sholat yoh lepas dulu hp kita, ambil air wudhu dan menghadaplah pada Allah.

Elisa memandangi hamparan sawah yang hijau dari balik bus yang ditumpanginya bersama Bik Sri. Setelah satu bulan dirawat di rumah sakit, akhirnya Elisa diijinkan untuk pulang. Namun ketika pertama menginjakkan kaki di rumah kedua orang tuanya telah banyak perkataan-perkataan tetangga yang menusuk telinga yang ia dengar.

Kabar bahwa Pak Ridwan menyusul Elisa kerumah sakit kandungan, hingga terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya menyebar begitu saja di komples tempat tinggal mereka. Semua tetangga menyalahkan Elisa atas kematian kedua orang tuanya. Mengatakan bahwa ia anak pembawa sial dan petaka.

Tak segan orang bergosip tentang Elisa saat ia keluar untuk membeli sayur mayur. Bahkan panggilan pelacur pun dilemparkan oleh orang-orang kepadanya. Ia sudah menduga bahwa orang-orang akan menilai Elisa dengan sebelah mata, tanpa mau tahu kejadian sebenarnya. Ingatan Elisa berputar pada kejadian dua hari yang lalu.

"Sayurnya berapaan, Pak?" tanya Elisa pada tukang sayur karena ini memang pertama kalinya ia berbelanja.

"Sayur kangkungnya seikat dua ribu, tiga ikat lima ribu, Neng," jawab tukang sayur sembari mengambil beberapa ikat sayur kangkung dan menumpuknya di depan Elisa.

Seorang wanita paruh baya dengan gincu merah pekat mendekati Elisa dan mencoleknya. "Elisa katanya hamil yah?" tanya wanita itu.

Elisa memilih diamdan lebih memilih fokus pada belanjaanya. Percuma berbicara, sebab apapun yang ia katakana akan tetap salah dan dipandang sebagai pembelaan oleh wanita itu.

"Kok diam, malu yah? ih, nggak usah malu! kan waktu ngelakuin sampai bisa hamilkan nggak malu." Tukang sayur dan beberapa ibu-ibu yang berbelanja menatap Ibu Irna saat mendengar perkataan kasar kasarnya.

"Berapa Pak?" tanya Elisa sembari menyerahkan kantong berisi belanjaanya,

"Dua puluh lima ribu, Neng," kata tukang sayur.

"Eh kok, buru-buru? Malu yah, pelacur kok punya malu," ucap Ibu Irna masih memprofokasi Elisa. sedangkan ibu-ibu yang lain memilih diam tidak ingin mencari masalah dengan Ibu Irna, karena ia memang terkenal memiliki mulut yang cukup berbisa.

Elisa tidak menghiraukan Ibu Irna dan segera membayar belanjaanya, kemudian meninggalkan tetangga sebelah rumanya itu. Samar-samar Elisa masih mendengar teriakan yang memanggilnya "Pelacur" dari bibir wanita paruh bayah itu.

"Non Elisa kenapa?" tanya Bik Sri saat melihat raut wajah Elisa yang menahan tangis ketika memasuki dapur.

"Apa tawaran Bibik untuk pindah ke Bogor itu masih berlaku, Bik?" kata Elisa balik bertanya.

"Kenapa tiba-tiba, Non? Ada apa?" tanya Bik Sri sembari mematikan kompor dan segera menghampiri Elisa.

"Tetangga Bik ... Elisa rasa, Elisa tidak bisa tinggal di sini bagi Bik," jawab Elisa menahan tangis.

Bik Sri memeluk Elisa. "Kalau Non sudah mantap, Insya Allah pekan depan kita pindah."

Elisa membutuhkan suasana baru untuk memulai hidup baru, tanpa ada yang mengenal masalalunya. Kejadian yang menimpanya membuat Elisa banyak belajar dan mendewasakan diri.

"Nak, nda tidur?" Pertanyaan Bik Sri menyadarkan Elisa dari lamunanya.

"Tidak Bik, Elisa tidak mengantuk. Bibik lanjutkan saja tidurnya," ucap Elisa sembari tersenyum pada Bik Sri.

"Meski tidak mengantuk coba saja untuk tidur Non, perjalanan kita masih jauh," kata Bik Sri dan hanya dibalas senyum oleh Elisa.

Elisa kembali melihat pada jendela pada bus, memorinya berputar pada kejadian di rumah sakit ketika ayahnya mengetahui ia hamil. Betapa bijaksana sikap ayahnya, disaat emosi memuncak, karena kekecewaan yang diberikan oleh putrinya ia masih meminta penjelasan.

Embun yang Ternoda | Terbit "Menuju Cahaya"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang