8

8.3K 480 10
                                    

Note : Jangan baca diwaktu-waktu sholat, jangan lupa baca Al-qur'an anda meski hanya satu ayat, jangan biarkan ia berdebu di dalam lemari anda sebab ia yang akan datang menolong ketika hari perhitungan telah tiba.

Jangan lupa klik bintang pada pojok kiri

"Reihan?" ucap Elisa saat merasakan aura mencekam dari tatapan Reihan. "Ada apa? ... kenapa pintunya terkunci?"

kLangkah Elisa untuk menghampiri Reihan terhenti saat melihat tatapan laki-laki itu. Elisa berjalan mundur saat pertanyaannya tidak menjawaban. Reihan berjalan menekatinya dengan tatapan yang semakin menakutikan.

"Reihan, apa yang mau kamu bicarakan? Kenapa kita harus ke sini?" tanya lagi sembari memperhatikan kamar hotel tempat mereka mengadakan peseta perpisahan.

"Reihan, kamu sedikit menakutkan ... jangan bercanda! Ayo kembali ke aula," Elisa berjalan melewati Reihan.

Tangan Elisa gemetar saat menyadari pintu kamar hotel yang ia tempati saat ini terkunci. "Reihan kenapa kamu menguncinya?"

"Ada apa Elisa? kenapa kamu tampak ketakutan?" ujar Reihan dengan senyum miring yang membuat Elisa sadar. Reihan yang saat ini di depannya bukanlah kekasih yang ia kenal.

Begitu cepat semua terjadi, Reihan tiba-tiba telah berdiri di depan Elisa, menggenggam tangannya. Diseretnya Elisa dari pintu, Elisa memberontak mencoba melepaskan diri dari cengkraman tangan Reihan.

Elisa berhasil, ia segera berlari ke arah pintu. Namun, sebelum mencapai ganggang pintu, Reihan meraih jilbab Elisa dan menariknya kasar. Bros jilbab yang dipakai Elisa terlepas, jatuh berhamburan dilantai dan melukainya. Ada setetes darah yang mengalir di sana.

Melihat jilbab di genggaman tangannya dan Elisa yang tersungkur di lantai membuat Reihan membuang jilbab itu sembarang arah. Ia kembali mendekati Elisa, ditarinya dengan paksa lengan Elisa dan dilemparkan ke arah Ranjang.

Keseimbangan yang tidak terjaga membuat kepala Elisa terbentur pada sudut ranjang. Menggores luka melintang di pelipisnya. Benturan keras membuat kepala Elisa seolah berdengung, penglihatan Elisa pun ikut mengabur. Reihan meraih kedua tangan Elisa dan mengikatnya dengan tali yang telah ia siapkan.

"Jangan, jangan Reihan. Aku mohon!" ucap Elisa memohon dengan lemah, air mata telah membasahi wajahnya.

Reihan tersenyum melihat Elisa yang tampak tidak berdaya. Ia kembali mencengkram tangan Elisa. Elisa kembali memberontak, dengan sisa kekuatan yang ada. Ia menendang sembarang arah, sembari berharap ada dari satu tendangannya yang dapat mengenai Reihan dan membuat laki-laki itu mundur.

Sebuah tamparan keras di pipi yang berkali-kali Elisa terima membuat kepalanya semakin berdenggung pandangannya semakin mengabur.

"Jangan!" ucap Elisa dengan lemah.

Suara pakain Elisa yang sobek dan senyum miring di wajah Reihan menjadi pemandangan terakhir yang Elisa tangkap sebelum kesadarannya perlahan-lahamm menghilang.

"Tidak ...," teriak Elisa dan terbangun dari tidurnya.

Napas Elisa memburu dan keringat tampak membanjiri keningnya. Lagi dan lagi meski telah hampir dua bulan kejadian nahas itu menimpanya. Namun, mimpi buruk tentang kejadian it uterus menghantui malam-malam Elisa.

Elisa duduk dan bersandar pada tepi ranjang. Ia menangkup tangannnya dengan kedua tangan. Air mata Elisa kembali mengalir. Ia menangis dalam keheningan malam.

~~~***~~~

Elisa memandangi pantulan dirinya yang tampak pada cermin lemari kamarnya. Ia masih dapat melihat bekas luka melintang berwarna putih dipelipisnya. Luka yang terus mengingatkannya pada Reihan. Meski terlah berlari sejauh ini, tapi rasa sakit malam itu terus mengikutinya. Entah sampai kapan ia akan terus bermimpi buruk.

"Lupakan Elisa! Lupakan!" gumam Elisa pada dirinya sendiri.

Elisa kembali menatap pantulan dirinya dalam cermin. Namun, kali ini ia lebih fokus menatap gamis yang ia kenakan. Setelah perasa penampilannya cukup baik. Ia mengambil buku, al-quran dan pulpen, kemudian megisinya ke dalam tas selempang. Kemudian keluar dari dalam kamar.

"Ibu, penampilan Elisa bagaimana?" tanya Elisa saat mendapati Bik Sri tenah duduk di atas dipan depan rumah.

"Masya Allah anak Ibu cantiknya." Puji Bik Sri ketika melihat Elisa.

"Apa Elisa tidak aneh Bu dengan penampilan seperti ini?"

"Tidak kok, justru kamu terlihat lebih cantik dengan pakaian yang tertutup seperti ini." Ucapan Bik Sri membuat pipi Elisa memrah karena pujiannya.

"Ibu bisa saja, Elisa cuma pake gamis murah yang dibeli di pasar," ucap Elisa dengan wajah malu-malunya.

"Hijab itu tidak harus mahal, Nak. Yang peting tidak transparan dan tidak tabaruj, dan menutupi aurat dengan pakaian yang longgar," kata Bik Sri sembari memegang pundak Elisa.

"Ibu Elisa pamit yah, mau ke masjid," ucap Elisa mengalihkan pembicaraan.

"Loh tumben, bukannya biasanya magrib baru kamu pergi ke masjid?" tanya Bik Sri pada Elisa.

"Mulai kemarin Elisa minta diajarin ngaji Bu sama Ibu Atika. Alhamdulillah, dari kemarin Elisa sudah diajari sama Ibu Atika di masjid," jelas Elisa dengan nada bahagia terpacar dari suaranya. "Elisa pamit yah, Bu."

Elisa kemudian mencium tangan Bik Sri dan keluar dari dalam kamar. "Assalamuallaikum."

"Waalaikumsallam, hati-hati yah!" ucap Bik Sri sembari tersenyum melihat perubahan Elisa.

Bik Sri bersyukur sejak Elisa ikut bersamanya, ia banyak melihat Elisa tersenyum. Sangat jauh berbeda dengan dulu saat baru keluar dari rumah sakit. Elisa selalu termenung sendirian mulai dari pagi hingga malam.

Bahkan untuk makan pun harus di ingatkan. Jika tidak ada yang mengingatkannya, ia baru akan makan saat tangannya gemetaran. Ingatan Bik Sri berputar pada hari-hari yang mereka lewati di Jakarta saat Elisa baru keluar dari rumah sakit.

Bik Sri tengah berjalan menuju kamar Elisa. ia berniat memanggil gadis itu untukmakan, sebab sejak tadi pagi belum melihat Elisa keluar kamar. Tadi pagi setelah dibangunkan untuk sarapan Elisa hanya mengangguk. Namun, hingga menjelang sore gadis itu belum juga menampakan batang hidungnya.

Langkah Bik Sri terhenti tepat di depan kamar orang tua Elisa. Ia mendengar suara isakan kecil dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Suara itu sedikit membuat bulu kuduk Bik Sri merinding.

Pelahan ia membuka pintu yang tidak tertutup rapat, suasana ruangantampak beegitu gelap. Samar-samar Bik Sri mendengar suara.

"Maafkan Elisa Bu ... Maafkan Elisa Ayah."

Mendengar suara Elisa membuat ketegangan Bik Sri meredakan. Perlahan ia menutup pintu yang dibukanya. Kemudian mengetuk pintu itu.

"Non," paggil Bik Sri. Namun tidak ada balasan.

"Temani Bibik makan yah Non, Bibi nda akan makan kalau Non belum makan." ucap Bik Sri.

Sebenarnya ia sudah makan duluan, hanya saja ia sengaja mengatakan itu agar Elisa mau ikut makan. Ia tahu Elisa memiliki hati yang lembut dan tidak ingin menyusahkan orang-orang disekitarnya.

"Iya Bik. Bibik duluan saja nanti saya menyusul," ujar Elisa.

Mendengar ucapan Elisa, bik sri segera kembali ke meja makan. Tak lama menunggu di meja makan, akhirnya Elisa datang meghampiri Bik Sri.

Melihat Elisa yang telah duduk di kursi, Bik Sri segera mengambil piring dan mengisinya dengan lauk pauk.

"Makan yang banyak, Non!" ujar Bik Sri sembali meletakan piring berisi makanan di depan Elisa.

"Terima kasih Bik," ucap Elisa sembari menyendok nasi.

Bik Sri tampak menahan air matanya ketika melihat tangan Elisa yang gemetar saat menyendok Nasi. "Samapai kappa Non akan begini?" pikir Bik Sri. Namun, ia memilih diam dan ikut menyendok nasi untuk dirinya sendiri, menemani Elisa makan.

Bersambung...

Jangan lupa berikan vote dan komentar anda. mengomentari tentang cover barunya juga bisa.

Embun yang Ternoda | Terbit "Menuju Cahaya"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang