3—Almost Revealed
Hanya perlu berjalan ke sisi lainnya dari komplek yang sama—mereka sampai di rumah Ten. Sempat Galvin pikir tadi kalau apa orang-orang suka mengambil hunian di komplek ini sebab sudah ada tiga orang yang ia ketahui memiliki rumah disini. Hal ini juga lah yang membuat Galvin mau menerima ajakan untuk pergi bareng dengan Zelo kalau ada kumpul di basecamp. Kalau jauh mah, ogah.
"Anjir! Kenapa sih jarak dari pager ke rumah si Ten jauh amat. Bisa dipake buat tanding futsal fakultas ini." omel Zelo begitu ia turun dari motornya. Galvin sudah terbiasa mendengar ocehan temannya satu ini setiap datang ke kediaman Nirran ini. Memang pekarangannya luas jika dibandingkan dengan rumah lainnya. Mungkin banyak yang akan berpikir kalau ini sudah diluar kawasan komplek—mana lokasinya di sudut, kan—dan mungkin juga akan berpikir kalau ini rumah salah satu pemilik saham komplek. Dari segi pemilihan warna pun cukup mencolok.
"Gue masih nunggu hari dimana lo datang ke rumah Ten tanpa mengoceh tentang hal yang sama, Zel." kata Galvin penuh harapan.
Kaki mereka mulai melangkah masuk ke rumah gedong itu, disambut meriah oleh sang tuan rumah.
"Selamat datang di Rumah Tenzio," hanya Tenzio karena yang lain sibuk sendiri. Yang lain sadar akan kedatangan temannya, tapi hanya melihat sekilas saja sebelum kembali ke aktivitasnya sendiri. Dari sambutan yang diberikan lelaki itu, tidak salah teman-temannya memilih rumahnya sebagai basecamp. Zelo memasang senyum simpul sebagai balasannya, sedangkan Galvin memilih untuk langsung duduk di sofa berwarna coklat keemasan itu, bergabung dengan Jonathan dan Jauzan yang sudah duluan disana.
"Nyempil aja lo, upil badak!" keluh Jonathan. "Pindah gih sono. Masih lapang juga disana." Katanya menunjuk ke sofa yang hanya diduduki oleh Zelo.
Galvin menggeleng, "Gak, udah pewe."
Dan pada akhirnya, Jauzan lah yang mengalah dan pindah duduk di samping Zelo. Lebih baik mengalah daripada mendengar perdebatan tidak berguna antara Galvin dan Jonathan yang apa-apa selalu dibawa repot.
Suasana setelahnya kembali hening, mereka semua sibuk dengan aktivitasnya sendiri.
Jauzan membaca majalah tanaman yang baru ditemukannya di bawah meja tamu, Galvin lagi-lagi kencan dengan game di ponselnya, Jonathan senyum kesemsem ke layar ponselnya, Thara mengetik sesuatu di laptopnya—itu menjadi satu-satunya suara yang terdengar, Dan Zelo serta Ten menatap langit-langit rumah dengan pikirannya masing-masing.
"Katanya mau ngumpul, mau main ke rumah gue. Ini mau main apa jadiin rumah gue tempat nongki kek cafe gitu." kata Ten dengan nada yang terdengar sedang kesal. "Pada sibuk sendiri semua gue liat-liat, nih."
Seketika semua kepala mendongak dan mengarah ke arah Ten.
"Ayolah, ngapain kek???"
"Bersihin kebun belakang?" kata Galvin.
"Udah bersih. Lagian ngapain sih lo mau bersih-bersih rumah gue???"
"Main PS?" ucap Thara.
"Yang rumahnya ada PS kan Jon, Thar." Balas Ten menahan kesal, untung duluan lahir dari dia. Iya, ini Tenzio lagi inget aja kalo Thara lebih tua dari dia. Kalo lagi pikun, mah, dia gas aja tuh.
"Um, sorry, but it's John." koreksi Jonathan pada penyebutan nama panggilannya. "Mabar aja udahhh," saran Jonathan.
"Gak, ogah, bosen gue tiba-tiba." Ucap Tenzio.
"Yah, baru aja mau gue iyain padahal." Galvin memasang wajah kecewanya.
Anzelo sedari tadi hanya diam, tapi biar begitu otaknya tetap jalan untuk dipakai berpikir. Ia mengingat semua permainan yang pernah mereka mainkan. Sekejap kemudian lelaki itu menjentikkan jarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
a rainbow for your rain
FanficKalau masa lalunya memberikan hujan sebagai sesuatu yang akan selalu diingatnya, maka cobalah untuk menjadi pelangi yang muncul setelahnya. ©naelsa, 2018. revised: march 2020.