04 ;

72 3 1
                                    

4—You

Airyn menatap perputaran jarum dari jam yang melingkar di tangannya. Setiap pertambahan detiknya, jarum panjang semakin mendekati angka 12 dan kemudian berarti saat itu sudah jam 7—dan lagi artinya gerbang sekolah sudah ditutup sempurna oleh Pak Satpam. Kaki kanannya tak berhenti diketukkannya ke lantai keramik berwarna putih itu dan sesekali menggigit bibir bagian dalamnya. Dalam hati ia terus menggerutui seseorang.

Anzelo Tyndall Handitra dengan segala kelakuannya yang sering membuat Airyn kesal itu berulah kembali. Bukan berulah dalam arti berantem atau apapun itu yang sadis. Tapi sebenarnya ini juga sadis, paling tidak bagi Airyn. Andai saja lelaki itu mau mengantarnya ke sekolahnya yang kalau dia terpeleset kulit pisang juga sampai ke kampusnya-alias sangat dekat, alias bersebrangan itu pasti sekarang dia sudah tidak susah-susah bermain tebak-tebakan bersama dirinya sendiri tentang apakah gerbang sekolah sudah ditutup atau belum.

"Bang, please hari ini berangkatnya sama abang aja yaaa, yaaa ya ya yaaa," mohon Airyn sambil mengedipkan kelopak matanya beberapa kali. Ia berusaha untuk meluluhkan abangnya dengan imej adik yang baik dan benar, tapi ujungnya malah seperti hendak menyanyikan lagu dangdut.

"Udah, kamu kan biasa sama Vana juga. Tungguin aja dia." kata Zelo santai dan hal itu memacu Airyn untuk ngotot menjawab, "Masalahnya Vana gak ada kabar ini. Kalo telat gimana, Bang?????"

"Ya dihukum, lah. Berduaan dihukumnya." Airyn mengucap dalam hati, mungkin di pikirannya itu kalau dihukum berdua akan berakhir romantis seperti di drama yang katanya tidak sengaja ia tonton tapi keterusan sampai episode terakhir. Tapi kan ini sesama perempuan, gimana romantisnya?

"Rela gitu liat adiknya dihukum, Bang?" bujuk Airyn tak henti-hentinya. Masih harus berjuang supaya bisa diantar.

"Ya kalo emang salah masa mau dibiarin aja? Gimana negara mau maju kalau yang bersalah dibiarkan begitu aja?" jawab Zelo yang sepertinya benar-benar sudah menjadi anak hukum sejati. Lelaki itu kemudian pamit dan melesat bersama motornya keluar dari pekarangan rumah. Airyn membuka mulutnya sehingga sekarang berbentuk huruf O.

"KEBANYAKAN GAUL SAMA BANG TEN YA LO, BANG. AISSSHH GGGGRR!" Kesal Airyn. Seingat gadis itu, abang dari sahabatnya itu hampir masuk ke Fakultas Hukum, akan tetapi untuk beberapa hal yang tidak begitu diingatnya lelaki itu memilih untuk mengurungkannya dan kemudian masuk ke Teknik Elektro. Jujur Airyn syok begitu mendengar ucapan Vana saat menjawab pertanyaannya tentang jurusan apa yang diambil Ten.

Omong-omong soal Ten dan adiknya itu, di kediaman Nirran saat ini ada drama dadakan.

"Vanaa, plis pergi sama gue aja yaaa." pinta Ten yang sudah seperti fakir-kasih sayang-kepada Vana. Gadis itu masih sibuk membenarkan rambut pendeknya yang sudah kelewat rapi sambil menatap spion motor matic miliknya.

"Kenapa sih, Bang? Pergi sendiri aja kenapa?" Kata Vana, fokusnya sudah berpindah ke pipinya. Melihat apakah ada bedak yang menumpuk di sana. "Buat apa coba mama sama papa beliin motor tiga dengan mobil satu." Kali ini Ten mendekati Vana kemudian mencengkram lengannya sebagai respon dari ucapan gadis itu.

"Please, Klivana. Cewek yang ngejar gue nambah. Gue gak mau dimodusin mereka. Cukup seminggu yang lalu deh gue nebengin mereka. Gak perawan lagi ini pinggang gue abis dipeluk erat-erat pake tangan mereka." jelas Ten panjang kali lebar.

Kadang Vana heran, bukankah seharusnya Ten senang karena dia dikelilingi bahkan juga dikejar oleh para perempuan. Ia bisa membanggakannya kepada teman-temannya nanti atau bahkan melakukan hal lainnya. Oke mungkin sependek itu pikiran Vana, tapi percayalah bahwa pikiran Ten juga bisa sependek itu. Tapi yang Vana dapati hanyalah Ten yang entah dari jaman kapan selalu berkata kalau dia risih dengan keberadaan para perempuan yang mengejarnya lengkap dengan ekspresi jijiknya.

a rainbow for your rainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang