8—studio and him
Perjalanan dengan seseorang yang belum begitu dekat memang selalu terasa garing, kaku, dan sunyi. Kecanggungan menjadi atmosfer yang mengelilingi motor yang dinaiki dua manusia—tidak pernah akrab sebelumnya. Airyn sejujurnya hanya akrab dengan Jonathan dan Jauzan. Itupun akrabnya secara tidak sadar, ibarat mulut Vana yang mengeluarkan banyak kata secara terus-menerus—lancar. Baik Airyn maupun Galvin belum ada yang bergerak untuk mengusir kecanggungan, kecepatan motor yang hanya mencapai 45 m/s sangat mendukung keduanya untuk lebih baik diam. Satu hal yang sama dari mereka saat ini ialah irama jantungnya.
Airyn berdegup memikirkan bagaimana reaksi temannya saat datang telat nanti, sementara Galvin harus menahan dirinya untuk tidak bereaksi berlebihan. Mengingat ia sedang membawa gadis-ngakak-estetik dibelakangnya ini. Sudah dua minggu berlalu tapi tetap saja ia berada di posisi bingung harus mengumpati atau berterimakasih pada teman-temannya untuk mengomporinya tadi. Semuanya terasa begitu cepat, bodohnya si spontan Galvin tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Atau lebih tepatnya belum.
Lelaki itu memutar otaknya yang sepertinya sudah kehabisan akal gara-gara dipakai main game terus-terusan. Ia berdeham namun belum digubris oleh Airyn, "Gak mau ganti dulu, ya?" tanyanya. Gadis dibelakangnya langsung sadar dari lamunan kemudian menggeleng. Tujuh detik kemudian dia sadar bahwa lelaki itu fokus kejalanan dan tidak akan melihat gelengannya. "Emm, enggak kak."
"Serius loh? Roknya pendek, nggak nyaman dipake lama-lama. It's okay if you want me to get you to your home first tho. I'll gladly take you to the studio then." Galvin menoleh kebelakang sekilas, memberikan senyum yang tak disadari Airyn ada.
Airyn sudah bilang kan, ia akan menghindari urusan apapun tentang rumahnya.
"Haha iya kak, gapapa. Udah biasa juga pake rok gini." Ya walaupun sebenarnya baru enam bulan ia memakainya. "Tenang aja." Dan dengan itu Galvin bingung harus membalas apa. Tidak mungkin ia memaksanya, apalagi sok jadi pahlawan langsung membawanya ke rumah. Tahu rumah saja tidak, heu.
Kecanggungan bagian kedua dimulai. Biarkan saja desir angin dan bisingnya kendaraan jadi pengisi perjalanan mereka.
"Makasih banyak ya, Kak." ucap Airyn sambil melepas helmnya dari kepala. Baunya mirip dengan Tenzio pikir Airyn. "Maaf kalo jadi ngerepotin." Gadis itu tersenyum tepat menghadap Galvin. Dengan keadaan Galvin yang duduk dimotor, kepala Airyn sejajar dengan hidung Galvin. Berdiskolah jantung Galvin beserta organ disekitarnya.
"Enggak, santai aja. Darimananya sih ngerepotin? Santai aja sama gue." ujar Galvin.
"Siap, Kak. Hehe."
"Iya, hehe."
"Hehehe,"
Merasa percakapan ini mulai tidak ada esensinya kecuali hanya saling cengegesan, Airyn menyudahinya dengan pamit untuk masuk ke dalam studio, sambil memikirkan alasan yang tepat untuk diucapkan didepan teman-temannya nanti.
Ia berjalan menuju tempat yang sudah diberitahu oleh Juno tadi sebelum berangkat. Tangannya menarik kenop pintu kedap suara itu, begitu terbuka langsung muncul penampakkan.
"Bwaa!" seru cowok itu. "Erennnn!" ucap cowok itu lagi, membuat seluruh pandangan di ruangan tertuju pada Airyn. Saat-saat seperti ini yang suka membuat iri teman ceweknya, kata mereka kenikmatan haqiqi. Walaupun sebenarnya Airyn sedang mencari nikmat darimananya? Airyn tidak munafik kalau dia tidak menangkap maksud mereka, tapi kan semakin dekat orang maka akan semakin banyak hal yang terkuak tentang diri orang itu sendiri. Karena hal klasik seperti itulah kira-kira Airyn masih bingung dengan nikmat yang dimaksud.
"CHANNNND!" geram Airyn pada lelaki bernama Chandika Awam Gemilang itu. "Sorry ya gue telat. Ada urusan tadi." alibinya.
Juno dan Chan bertukar tatap, tatapan jahil. "Hm, No, laper gak sih?" tanya Chan pada cowok berhidung mancung disebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
a rainbow for your rain
FanfictionKalau masa lalunya memberikan hujan sebagai sesuatu yang akan selalu diingatnya, maka cobalah untuk menjadi pelangi yang muncul setelahnya. ©naelsa, 2018. revised: march 2020.