06;

38 2 2
                                    

6—book

Airyn yang sedang memasang wajah kane (dibaca: dari belakang) di depan AC langsung terlonjak dan kehilangan keseimbangannya di kursi. Ia sudah pasrah kalau hidupnya harus berakhir karena jatuh dari jarak 1 meter tak sampai.

Konyol.

Untungnya gadis itu mampu menguasai dirinya agar dapat kembali berdiri seimbang. Ia bergegas turun dari kursi.

"Gue mau idupin AC, nyet." Ujar Airyn kemudian manyun. Vana yang mendengarnya lalu berjalan mendekati meja belajarnya, membongkar tumpukan bukunya. Setelah itu dia kembali menuju Airyn, menunjukkan benda berwarna putih yang biasa digunakan untuk mengontrol pendingin ruangan itu.

"Rin, ada penemuan namanya remote control. Lo gak perlu manjat buat ngidupin AC karena benda ini." Jelas Vana, didepannya Airyn sudah sewot, "Tapi tadi pas gue cari kok gak ada????" ujarnya, tentu saja dengan emosi jiwa yang menggebu.

Vana mengedikkan bahunya lalu beranjak menuju tempat tidurnya dan berbaring. Tasnya entah sejak kapan sudah diletakkan diatas tempat tidur.

"Tau ah, yang penting udah adem." Gumam Airyn. Gadis itu ikut menghempaskan tubuhnya disamping Vana. Otaknya tiba-tiba mengirimkan sebuah pertanyaan tentang hal yang dilihatnya tadi.

Kenapa bisa temannya yang tadi jelas di depan matanya—bisa dibilang—dipaksa pulang bersama dengan mas pacar malah sampai dirumah dibawa dengan orang berbeda. 

"Van," yang dipanggil sedang memejamkan mata dan hanya membalas dengan gumaman. Airyn tidak jago meramal tapi dia yakin kalau ada suatu bahkan banyak hal yang menggantung dipikiran Vana.

"Lo kenapa gak pulang sama Kak Win?" tanya Airyn langsung ke inti. Vana membulatkan matanya lalu mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk, "KOK LO BISA TAU?" ucapnya kaget.

"Ya...itu...tadi di lampu merah gue liat lo diboncengin pake—"

Kata-kata Airyn harus terputus karena keributan dari luar kamar Vana.

"woI ANJIR CEPETAN. GUE GAK SABAR MAU MINUM ES KELAPA MUDA. HAUS NIH." Dua gadis itu yakin kalau ini adalah suara Jonathan.

"Hhhh, berisik banget sih. Apa tadi, Rin?"

"Tadi gue liat lo dibonceng sama orang lain, motornya aja bukan satria kebanggan lo tuh."

Ya kan gak mungkin Win tukar tambah motor Satrianya dengan N-Max. Bahu Vana merosot diikuti helaan napas yang kasar begitu mendengar pernyataan dari Airyn.

"Biasalah Kak Win mood swing-nya lagi parah banget. Gue capek dengerin dia ngoceh terus minta Kak Ten jemput di café. Tapi ya, yang dateng malah temannya." setelah mengatakan itu Vana masih berusaha senyum, palsu.

Tepat saat mulut Airyn terbuka, kicauan ricuh bin berisik kembali terdengar.

"EH LO GIMANA SIH, DENDAM APA SAMA GUE COBA YUT!"

"Sa—"

"SHYIIITT, DIKIT LAGI KENA TUH KEPALA TEN. KALO KENA YAUDAH GUE PUNYA TEMEN GILA."

"Otaknya udah geser, ditimpuk kelapa tuh malah balik jadi waras dia."

Baik Vana ataupun Airyn saling berpandangan, merasa hal yang mereka pikirkan sama. Airyn kemudian bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju balkon yang menghadap ke kebun dan kolam renang.

Kediaman Keluarga Nirran memang luas. Bangunan rumahnya terletak di tengah-tengah tanah. Dikelilingi oleh bermacam fasilitas seperti kebun kesayangan Mama Nirran, kolam renang, halaman depan—yang juga luas, Zelo yang paling paham soal ini, dan lainnya.

a rainbow for your rainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang