Malaikat Pelindung

284 22 0
                                    

Karin melihat sebersit cahaya dari kejauhan. Ia menajamkan penglihatannya menunggu apa yang akan muncul dari balik kegelapan yang menyelimutinya. Cahaya itu dilihatnya semakin mendekat. Ia hanya bisa menunggu. Tiba-tiba seberkas cahaya menyorot kuat ke arahnya. Karin memicingkan matanya, berusaha melihat siapa di balik cahaya itu.

"Karin!"

"Hans!"

Karin beranjak dan mendekat ke arah Hans. "Kamu, kok, bisa ada di sini? Kamu kesasar juga?"

"Aku tadi lihat syal kamu yang jatuh," kata Hans, menyodorkan syal milik Karin.

"Ya ampun, Hans! Terima kasih, ya!" Spontan Karin memeluk lelaki di hadapannya ini namun sedetik kemudian ia buru-buru melepaskan pelukannya dengan canggung. Meski baru beberapa menit mengenal Hans tapi rasanya seperti sudah kenal lama.

"Aku ketinggalan rombongan dan aku bingung harus ambil jalan yang mana."

"Kenapa kamu nggak tunggu aku?"

Karin cuma terdiam dan menunduk. Tiba-tiba Hans menarik tangannya lalu membimbingnya berjalan keluar lorong.

"Baterai senter kamu habis, ya?"

"Iya. Untung ada kamu!"

"Kita mau lanjut atau kembali aja?"

"Lanjut, dong! Tapi apa kamu tahu jalannya?"

"Kita susuri aja lorongnya."

"Eh, tapi..."

Mendadak Karin teringat pesan Evan. Tapi Hans bukan orang jahat, dia dewa penyelamatku.

"Kenapa, Rin?"

"Nggak apa-apa," jawab Karin. "Tunggu sebentar, ya."

Karin membuka tasnya, merogohkan tangannya ke dalam dan mengeluarkan bungkusan plastik berisi sepotong roti dan obat.

"Kamu lapar?"

"Aku harus minum obat. Kita duduk dulu sebentar, ya?"

"Kamu sakit apa?' tanya Hans cemas. "Yakin mau terus?"

"Gangguan lambung tapi nggak masalah kalau udah minum obat."

Karin kemudian menegakkan badannya lalu berdiri. Dilihatnya Hans menatapnya dengan ragu.

"Apa kamu percaya kalau aku punya malaikat pelindung?"

"Melihat kejadian barusan, aku percaya," kata Hans tertawa.

"Ngomong-ngomong, batu cermin itu maksudnya apa, sih?"

"Pada bagian langit-langit di ujung gua ini ada celah sempit yang bisa dimasuki sinar matahari. Berkas sinar yang masuk akan memantul-mantul pada dinding dan dasar gua, kelihatannya seperti cermin."

"Wah, keren!" seru Karin bersemangat. "Kalau gitu, yuk, kita kemon!"

***

Karin menyipitkan matanya berusaha beradapatasi dengan cahaya di luar gua yang terik. Ia mendongak, matahari sudah di atas kepala. Ada perasaan lega dan senang luar biasa yang menyelimuti hatinya. Lega karena ia bisa keluar hidup-hidup dari dalam gua dan senang karena berhasil melawan rasa takutnya akan kegelapan.

Bukan cuma ruangan gelap tapi gua! Good job, Karin!

"Kita makan siang dulu, yuk!" kata Hans kepada Karin.

"Setuju!" jawab Karin, ia selalu bersemangat setiap kali mendengar kata makan. Namun mendadak terdengar dering ponsel.

"Eh, sebentar, ya."

Backpacker In Love (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang