Bemo Lampu Sepuluh

407 24 1
                                    


Karin melangkah cepat-cepat keluar dari halaman rumah sakit, diikuti Evan, lalu menuju jalan raya. Jalanan gelap dan sepi. Kini keduanya berdiri di tepi jalan menunggu angkutan. Tapi belum ada satu pun yang lewat. Karin melihat jam, pukul 04.15.

Diliriknya Evan, lelaki itu berdiri tegak di sampingnya dengan tas ransel jumbo di punggung sementara tas ransel besar milik Karin didekapnya di dada. Bagaimanapun ia merasa berterimakasih pada Evan karena telah lumayan membantu. Tadi sebelum berangkat, Evan ngotot membawakan tasnya. Katanya dia nggak mau tanggung resiko kalau tiba-tiba Karin pingsan di jalan.

Di kegelapan begini, Karin bisa leluasa mengamati siluet Evan. Badannya atletis dan menjulang, rambut pendeknya acak-acakan sementara lekuk wajahnya sempurna dengan ujung hidung yang meruncing naik. Sekejap Karin melihat kedua ujung bibir Evan yang terangkat. Hei, dia tersenyum!

"Kamu, kok, tenang-tenang aja? Kita bisa ketinggalan pesawat, nih!"

"Terus mau gimana? Grusa-grusu nggak jelas kayak kamu?"

Karin mendengus kesal. Ia bergerak maju ke tengah jalan, sesaat sebelum sebuah mobil melintas cepat di depannya, namun mendadak ia terhuyung mundur lantaran ada yang menariknya dari belakang. Ia hilang keseimbangan sehingga tubuhnya jatuh menimpa Evan. Karin buru-buru bangkit ketika menyadari sebagian tubuhnya menghimpit tubuh lelaki itu. Wajahnya mendadak terasa panas, untung pagi masih gelap.

"Karin! Kamu mau ngapain? Memangnya kamu mau masuk rumah sakit lagi gara-gara ketabrak mobil?"

Karin tak memedulikan Evan, matanya fokus menatap ke ujung jalan. "Aku mau cari tumpangan."

"Jangan sembarangan! Ini tempat asing!"

"Tapi kita nggak bisa cuma diam di sini."

Heran, jadi cowok, kok, penakut banget. Payah!

"Aku udah sewa mobil, bentar lagi juga datang."

Karin terdiam. Rupanya Evan telah menyiapkan semuanya. Baguslah! Walau penakut, seenggaknya dia pintar.

"Yuk, mobilnya udah datang, tuh."

Karin tersenyum girang melihat sebuah mobil melaju ke arah mereka namun ia langsung melongo begitu melihat bentuknya. Ya ampun! Kok, pakai mobil bak, sih?

"Cepat! Naik, Rin!"

Karin tersentak lalu buru-buru melompat ke atas bak mobil dengan dibantu Evan. Mobil kemudian langsung melaju dengan kecepatan tinggi. Ia merapatkan jaketnya ketika angin pagi yang dingin terasa menampar-nampar tubuhnya.

"Sorry, ya, adanya cuma mobil ini. Habis mendadak," kata Evan sambil beringsut duduk di samping Karin.

Karin cuma mengangguk. Ia lantas duduk bergelung memeluk kedua kakinya sementara Evan duduk merapat di sampingnya. Begini lebih baik, lebih hangat.

Tak sampai lima belas menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi sudah memasuki area pusat pemerintahan Kota Kupang. Karin melihat sekeliling sambil menikmati pemandangan kota Kupang di pagi hari. Jalanan lurus mulus beraspal dengan pepohonan rindang di kedua sisinya, sementara sejumlah gedung kantor instansi pemerintahan berderet rapi mengapit di kanan dan kiri. Namun kesyahduannya terusik ketika mobil yang mereka tumpangi mendadak menepi dan berhenti. Karin mendengar suara rem berdecit dan merasakan tubuhnya terdorong ke depan. Kemudian terdengar suara kaca pembatas diketuk-ketuk dari depan. Karin melihat pemilik mobil memberinya tanda untuk turun. Keduanya lantas bergegas turun.

"Ada apa, Pak?" tanya Evan.

"Beta dapat telepon, beta pung maitua mo melahirkan. Ko, beta musi pulang sekarang!"

Backpacker In Love (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang