Karin sudah lagi tak menaruh perhatian terhadap keindahan panorama alam di sekitarnya. Barisan pegunungan, rimbunnya pepohonan, pantai luas dan laut lepas. Perjalanan menuju Pantai Penggajawa yang berkelok-kelok, naik-turun, dan angin yang menderu-deru menampar wajahnya kini membuatnya pusing dan mual.
"Berapa lama lagi kita sampai?" Ia harus berteriak supaya suaranya tak hilang tertelan angin.
"Ini su separo jalan, lima belas kilo lai," jawab tukang ojek, juga dengan berteriak.
Karin sebenarnya ingin langsung menuju Danau Kelimutu lalu mengakhiri perjalanan di Pulau Komodo lantaran waktu cutinya yang sempit, tapi hak giliran ada di tangan Evan.
Ia teringat bagaimana kemarin Evan memaksa ingin melempar koin untuk menentukan siapa yang pertama kali menggunakan hak giliran. Katanya ini demi keadilan. Hasilnya, Evan dapat giliran pertama dan ia memilih Pantai Penggajawa. Waktu itu, Karin protes karena dengan begitu perjalanan menjadi tak efisien. Rute Penggajawa-Kelimutu-Pulau Komodo membuat mereka harus mengulang rute yang sama sejauh puluhan kilometer. Namun rupanya Evan punya skenario sendiri. Menurutnya jika mereka mampir ke Pantai Penggajawa setelah dari Kelimutu, ada kemungkinan mereka tiba di pantai malam hari. Karin pun mengalah, lagipula ia harus pegang komitmen terhadap aturan.
Lamunan Karin seketika buyar ketika ojek yang ditumpanginya berbelok dengan kecepatan tinggi di sebuah tikungan tajam. Jantungnya serasa mau copot sementara desakan dari dalam perutnya mulai terasa naik ke kerongkongan.
"Tolong berhenti di pinggir sebentar!"
Setelah ojek menepi, Karin langsung melompat turun. Ia berlari ke sisi jalan dan memuntahkan isi perutnya. Beberapa menit kemudian, dilihatnya ojek yang ditumpangi Evan ikut menepi.
"Kenapa berhenti, Rin?"
"Cuma mau ngelurusin badan."
"Kamu mau istirahat dulu?"
"Nggak usah," sahutnya cepat. "Ayo, lanjut lagi!" Karin pun buru-buru melompat ke atas ojek lalu melanjutkan perjalanan.
Karin bersyukur karena hari belum terik ketika mereka tiba di Pantai Penggajawa. Ia langsung menghambur ke arah pantai dan segera mengagumi lautan jernih membiru yang terbentang luas dengan hamparan bebatuan kehijauan di sekelilingnya. Sementara tebing kapur yang juga berwarna kehijauan membentang kokoh serupa benteng di sisi pantai. Ia tersenyum mengingat khayalan masa kecilnya. Dulu, ia percaya segala warna yang ada di bumi merupakan hasil kerja para peri bersayap serupa tinker bell. Dalam bayangannya, peri-peri bersayap itu bertugas mewarnai bunga-bunga, melukis laut dan gunung, serta mengukir tebing dan karang.
"Awww!!!"
Suara erang kesakitan membuyarkan lamunan Karin. Dilihatnya Evan sedang mengaduh-aduh memegangi kakinya. Karin memandang berkeliling. Pantai ini memang unik lantaran sejauh mata memandang, hamparan pasirnya tampak dipenuhi batu-batuan berwarna-warni, terutama biru kehijauan. Karin berjalan menghampiri Evan yang masih terlihat kesakitan.
"Kamu kenapa?"
Evan tak menjawab malah sibuk mengusap-usap kakinya. Karin melemparkan pandangannya ke tengah lautan. Gulungan ombak tampak susul-menyusul berkejaran menuju pantai tempatnya berdiri. Byuuurrr! Keletak-keletak-keletak!" Bunyi suara ombak menghempas bibir pantai disertai ratusan batu-batuan dan kerikil yang ikut terbawa.
"Ooh... Kaki kamu kena batu-batu itu, ya?" tanya Karin berusaha menahan senyumnya. "Sakit?"
"Ya, iyalah. Sakit banget!" sahut Evan lalu pergi dengan bersungut-sungut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Backpacker In Love (COMPLETED)
RomanceKarin yang patah hati nekad pergi berlibur ala backpacker ke NTT. Sepanjang perjalanannya, Karin kerap menemui berbagai permasalahan akibat sifatnya yang ceroboh dan pelupa. Bukan cuma itu, ia pun harus menghadapi berbagai masalah akibat perseteruan...