Piece Of Puzzle | Part 6 : Mad Love

776 86 34
                                    

** Happy Reading **

Sangri-La Hotel, Paris, France - 02.00 PM

"Tentu, aku bersedia. Sebuah kehormatan untukku, Mr. Queen."

Serena menoleh dengan penuh amarah. Rasanya ingin sekali ia menimpuk kepala otak udang ini dengan piring di depannya agar dia pingsan saat ini juga. Namun, niat itu melayang begitu saja saat Perceval menoleh ke arahnya, kemudian tersenyum tipis. Serena menggeleng tak percaya. Ia mengalihkan pandangan, sesaat kemudian memijit pelipisnya yang terasa pening.

"Sebentar lagi kalian akan menikah, jangan panggil Mr. Queen, panggil saja Dad atau Daddy."

Serena menoleh kaget.

"Tentu saja, Daddy," ucap Perceval menekan kata daddy.

Oke. Sekarang Serena ingin muntah. Laki-laki ini menjijikan. Apa mereka tidak bisa melihat, kalau otak udang ini sedang bersandiwara? Ya Tuhaan ... dosa apa yang telah ia lakukan, sampai ia harus menikah dengan laki-laki berengsek ini? Serena menghela napas panjang. Ia harus pergi dari sini, lama-lama ia bisa gila jika tetap berada didekat si otak udang ini.

"Cukup, Dad. Sampai kapan pun, aku tak akan mau menikah dengannya!" ucap Serena setelah sejak tadi ia hanya terdiam. Nadanya begitu datar, tetapi sangat tegas. "Asal kau tau, dialah orang yang sudah menghancurkan masa muda anakmu, membuatku tak punya teman dan dijauhi. Aku yakin, kau masih mengingatnya, Dad."

Serena mengacungkan jari telunjuk kanannya, saat Frank akan berbicara. "Apa kau tak pernah memikirkan, perasaan putrimu satu-satunya?"

Frank tertegun, ucapan Serena begitu menusuk. Mau bagaimana lagi, hanya ini yang bisa ia lakukan. Frank membuka mulutnya hendak menjawab, tetapi Perceval mendahuluinya membuat Serena mau tak mau menoleh padanya.

"Oh, ayolah Serena ... itukan dulu...," ucap Perceval dengan santai dan sedikit mengejek.

Apa katanya? Dulu?? Serena tersenyum miris. Dua tahun ... ia hidup seperti di neraka. Di-bully, dicaci maki, dijauhi oleh teman-teman hanya karena saat itu dia gemuk. Ya, hanya satu kekurangannya, gemuk. Itu semua gara-gara laki-laki ini. Tiba-tiba hatinya berdenyut, memori yang telah ia kubur dalam-dalam mau tak mau ia gali lagi. Membuat dada Serena sesak, dan pandangan matanya mulai mengabur. Sial. Ia tak suka ini.

"Ah, tentu saja. Bagi seorang Bennet sepertimu, semua hal terlihat mudah bukan? Karena kau memang tak pernah merasakan perasaan orang-orang yang sudah kau tindas," Serena menyeringai, mencoba mengabaikan pandangan matanya yang sedikit mengabur, "kau salah, kalau kau merasa dirimu berharga dan istimewa. Hargamu bahkan tak senilai dengan napkin yang baru saja aku pakai!" Serena melemparkan napkin yang tadi ia pakai untuk mengelap bibirnya ke arah dada Perceval dengan kasar, membuat laki-laki itu hanya membeku.

Tentu saja, tak pernah ada orang yang berani menghinanya, apalagi di depan keluarganya sendiri.

"Maafkan aku, Tuan Bennet. Aku harus pergi. Ada pekerjaan yang sedang menungguku." Serena menunduk kemudian melangkah menuju lift, meninggalkan restaurant yang menurutnya sangat luas, tetapi lapisan udaranya sangat tipis. Berada di ruangan itu, hanya membuat dadanya sulit bernapas.

Serena menyenderkan tubuhnya ke samping sesaat setelah pintu lift menutup. Ia mencoba menghela napas panjang. Setetes air mata akhirnya meluncur dengan cepat. Serena menyekanya, tetapi semakin cepat ia menghapusnya, air mata lainnya terus saja keluar.

"Mom ...," lirih Serena penuh kesakitan. Ia selalu mencoba untuk kuat, tetapi saat ini ia merasa benar-benar lemah. Tak ada seorang pun, yang berpihak padanya. Jika saja Ane masih ada, mungkin semua akan terasa berbeda. Serena menghela napas kembali, mencoba memantapkan hati sebelum ia melangkah keluar lift.

Mobil Serena di parkir tak jauh dari pintu keluar, sehingga ia tak perlu petugas valet untuk mengambil mobilnya. Namun, sial beribu sial. Ketika ia sudah sampai di depan mobilnya, ban depan sebelah kirinya kempis.

"Kenapa? Sepertinya ban mobilmu kempis?"

Kenapa dia sudah ada di sini lagi?? Serena mengalihkan pandangan, mencoba menutupi wajahnya dengan tas yang ia bawa. Ia tak ingin otak udang ini melihat matanya yang sembab.

"Bukankah kau bilang, kau ada pekerjaan? Biar aku antar."

Serena berdecak pelan. Di sekitar daerah ini, memang cukup sulit menemukan kendaraan umum atau taxi.

Perceval membuka pintu penumpang dari dalam mobil, membuat Serena hanya bisa mengerutkan kening, curiga.

"Oh ayolah ... jangan curiga begitu. Ayahku yang menyuruhku untuk mengantarmu. Kau tak mau terlambat, bukan?" Perceval terlihat mulai tak sabar, ia terus mengetukkan jarinya ke kemudi mobil. "Cepatlah!"

Dengan wajah tak ikhlas, mau tak mau Serena melangkah masuk. Ia memang sudah hampir terlambat, dan sous chef-nya sudah menghubunginya sejak tadi.

Hening. Itulah yang bisa ia gambarkan, saat Perceval sudah melajukan mobilnya. Hanya suara deru mobil yang bisa memecah keheningan itu. Serena terus mengalihkan pandangan ke luar jendela, karena menurutnya pemandangan di luar sana lebih menarik.

"Turun."

Serena akhirnya menoleh, meski dengan wajah bingung, pasalnya ini bukan tempat kerjanya.

"Aku bilang, turun!"

Serena menyeringai, menggeleng tak percaya. "Kau tau kan, di sini sulit menemukan--"

"Aku tak peduli. Lagipula ... setelah kau menghinaku tadi, apa kau pikir aku mau berbaik hati untuk mengantarmu? Kau ini terlalu bodoh atau terlalu polos, huh?"

Kening Serena berkedut. Ia mengepalkan tangan menahan amarah. Rasanya ingin sekali ia meninju wajah Perceval. Dengan kesal, ia melangkah keluar kemudian membanting pintu mobil dengan keras.

Perceval menyeringai, sebelum akhirnya ia menjalankan mobilnya kembali dengan kecepatan tinggi.

"Dasar. Laki-laki brengsek!" Serena menendang kakinya, tetapi hanya angin yang bisa ia rasakan.

"Eh, tunggu. Di mana tasku?!" pekik Serena was-was. Ia mengerutkan kening bingung, menoleh ke sana kemari, sebelum akhirnya ia menyadari jika tasnya berada di mobil Perceval.

Serena memilih untuk duduk di bangku yang berada tak jauh dari pinggir jalan. Gadis itu terkekeh sesaat sebelum ia menarik lututnya ke atas dada dan menelungkupkan wajahnya, mencoba melindungi wajahnya dari suhu dingin yang mulai mendera. Sedih, marah, bingung dan lucu, itulah yang ia rasakan. Ia tak bisa ke mana pun tanpa tasnya, tak ada uang, tak ada handphone. Ia stuck di tempat ini, dan kabar baiknya ia tak tahu kapan taxi akan lewat ke jalan ini.

Suara klakson yang cukup keras membuat Serena mengangkat wajahnya. Ia tersenyum tipis, saat matanya menangkap mobil Bugatti hitam milik Perceval.

Hatinya tiba-tiba terenyuh, tetapi ia segera merutuki dirinya saat Perceval menurunkan kacanya perlahan dan melemparkan tas Serena dengan kasar. Dengan tergesa, gadis itu menangkap tasnya yang hampir menyentuh tanah. 

"Tasmu tertinggal." Perceval menutup kacanya, kemudian melajukan mobilnya kembali dengan kencang meninggalkan Serena yang hanya bisa membeku, tak percaya dengan hal yang baru saja terjadi.

"Aku bersumpah, sampai kapanpun aku tak akan pernah jatuh cinta padamu! DASAR BERENGSEK!!"

** Thank You **

--------

Gimana buat part ini? Apakah aneh? Terlalu memaksa? Alur terlalu lambat? Atau mulai boring? 😂😂😅😅 please, jangan ya.. Hahaha

Kalau kalian suka ceritanya, jangan lupa klik bintangnya yaaa..

Maafkan baru sempet up lagi, sibuk yooo dan baru ada inspirasi 😂

Piece Of Puzzle [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang