Kanre berlari lurus menuju Sekolah Sihir sesampainya di pulau Penyihir. Sang penjaga gerbang tidak mencegatnya karena sibuk dengan dunia mimpi. Sebentar lagi matahari terbit, tapi semua orang masih tertidur.
Dia tidak peduli dan menembus segala pertahanan sihir terhadap perampok. Dia segera ke kamar khusus Kepala Sekolah dan menggedor-gedor pintunya, membuat semua guru yang memiliki kamar di koridor yang sama terbangun. Kepala Sekolah membukakan pintu dengan wajah serius. "Kanre? Kau kembali lagi? Ada apa?"
"Apakah Seid datang kemari?" tanya Kanre tanpa memelankan suaranya.
"Tidak. Kalian terpisah?" tanya Kepala Sekolah yang nampaknya bersiap untuk beranjak dari tempatnya berdiri.
Kanre menceritakan seluruh kejadian yang terjadi di pulau Dien. Kepala Sekolah mendengarkan dengan saksama, lalu segera bersiap dengan pakaiannya. Kanre bingung karena Kepala Sekolah tidak mengatakan apapun dan langsung mengganti pakaiannya.
Pria tua itu membangunkan semua guru dengan kalimat yang sama: "Bangunlah, persiapkan diri kalian. Mungkin akan ada naga yang bertarung nanti."
Para siswa menjadi ribut karena dibangunkan sebelum waktunya sarapan. Mereka diminta untuk pergi dari sekolah secepat mungkin dengan tenang dan tidak panik. Mereka sendiri tidak mengerti kenapa harus melakukannya, dan tidak sedikit yang memilih untuk bersembunyi dan melanjutkan tidur.
"Ah, paling cuma simulasi," kata mereka.
Dan di antara mereka, Dalago termasuk. Cerrata menceramahinya habis-habisan, karena simulasi sekalipun tetaplah penting. Tapi Cerrata tidak tahu, kalau Dalago sudah menyumbat kupingnya dengan tissue untuk mencegah suara Cerrata mengganggu tidurnya. Tapi betapa terkejutnya Dalago ketika sesuatu yang keras menghantam pipinya.
"Bangun, kerbau pemalas!" teriak Vaon. Cerrata merasa lega karena Vaon mendatangi mereka, dan dia sangat ampuh untuk membangunkan Dalago. "Kalau para guru bilang bangun dan pergi, maka kau harus melakukannya!"
Dalago pun terbangun dengan terpaksa, tapi masih bermalas-malasan. Vaon tidak sabar dan menunggu di ambang pintu, menyaksikan para siswa memadati koridor. Lalu salah seorang dari mereka tampak dengan tidak sabar mendesak dan dia pun mendekati Vaon.
"Harus cepat lari!" katanya. Itu adalah Frile, memperingati Vaon dengan sukarela. "Aku menguping pembicaraan guru, dan katanya akan ada naga yang bertarung!"
Vaon terkejut, tapi dia tidak percaya begitu saja. "Kau bohong."
"Aku tidak bohong!" kata Frile sungguh-sungguh.
"Terus, kenapa kau harus memberitahuku?" tanya Vaon masuk akal. Pipi Frile memerah, lalu dia menggenggam kedua tangan Vaon.
"Karena aku tidak mau kamu terluka!"
Pipi Vaon memerah, lebih merah daripada pipi Frile. Frile menggandeng tangannya dan segera menyeretnya pergi, meninggalkan Dalago dan Cerrata.
"Ya ampun, enaknya Vaon," desah Cerrata, mengingat dirinya sudah ditolak banyak perempuan.
"Enak apanya? Pasti si berengsek itu punya rencana jahat!" tukas Dalago yang sudah terjaga sepenuhnya karena pemandangan mengerikan yang disaksikannya. "Tidak bisa kupercaya! Vaon bisa-bisanya terpengaruh..."
"Kalau cemburu bilang saja," ledek Cerrata. Dalago hendak membantahnya, tapi di langit terlihat sesuatu yang aneh, yang sekilas terlihat dari balik pintu. Koridor sudah kosong sekarang, dan halaman di samping koridor dapat terlihat jelas. Di atasnya, langit yang mulai diterangi cahaya matahari, ada sesosok makhluk seperti ular yang menggeliat-geliat. "Itu Naga Pelindung. Aneh, kenapa sepertinya dia tidak terlalu menguasai terbangnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wizard
FantasyKetika berpikir kalau dia akan terpenjara di pulau membosankan selamanya, seorang pria dari Daratan Luar, daratan yang selama ini hanya menjadi mimpinya, terdampar di pulaunya. Seid, si anak pemimpi, memaksa pria itu untuk membawanya keluar dari pul...