Pagi-pagi sekali, ketika matahari belum terbit, dan bintang masih menggantung di langit, Kanre sudah membangunkan Seid. Mereka berjalan ke arah perahu, lalu membereskan muatan mereka. Seid membawa beberapa potong pakaian, dan memang hanya itulah pakaian yang dimilikinya.
Sedangkan Kanre hanya membawa air dan makanan secukupnya, tak memiliki pakaian lain selain yang dikenakannya. Dia memastikan kalau dia masih memiliki pisau kecil yang serbaguna di ikat pinggangnya. Seid sangat gugup. Malam sebelumnya Seid hampir tidak tidur, sehingga tadi malam dia bisa tertidur pulas tanpa terganggu kegugupannya.
Dia pergi meninggalkan orangtuanya yang masih tertidur. Ayahnya tidak terlalu memedulikan berita tentang keberangkatannya.
Setelah selesai mengecek muatan, Kanre turun dari perahu. Seid bingung dengan apa yang sedang dilakukannya, lalu Kanre mendorong perahunya. Dia mendorong perahu berat itu hingga terapung di laut, lalu dengan terburu-buru dia pun melompat naik ke dalam perahu. Kanre membiarkan kain layar tetap terlipat dan mendayung perahunya.
"Jadilah mataku," ujar Kanre, tanpa Seid mengerti maksudnya. "Ke haluan. Maksudku bagian depan perahu. Awasi jalurnya, katakan apa yang kaulihat."
Dia menurutinya. Di timur, matahari mulai menyelinap naik. Seid mengawasi terbitnya matahari, lalu tiba-tiba saja sesuatu menghantam perahu, mengejutkan Seid.
"Kubilang awasi jalurnya!" teriak Kanre. Seid tidak berani menatap Kanre, dan langsung mengerjakan tugasnya. Kanre memegang kemudi kapal sekaligus dayung, dan tampak kebingungan. "Beritahu aku harus belok ke mana!"
Seid melihat batu karang yang berhamburan di sana. Seid pun dengan cepat mencari celah paling lebar yang dapat ditemuinya. "Belok kanan!" teriaknya. Kanre melakukannya. Seid terus memandu Kanre, walau terkadang tetap menghantam batu karang. Ketika akhirnya keluar dari daerah batu karang itu, Kanre melepas dayungnya, menyimpannya dengan hati-hati.
Seid bengong di haluan. Dia menatap laut tenang di hadapannya. Karena perjalanan melelahkan sebelumnya, mereka tidak menyadari kalau sebentar lagi sudah tengah hari. Kanre mebuka kain layar, lalu dia mengistirahatkan dirinya, membaringkan punggungnya di buritan. Seid tidak bicara sama sekali untuk waktu yang lama.
Setelah beberapa saat, mendadak Kanre bangkit dan berkata, "Makan siang."
Mereka makan dalam diam. Burung camar memecah keheningan. Kanre menoleh dan menatap ke ujung lautan. Dia menyipitkan matanya, berusaha melihat sesuatu yang sangat jauh. Seid mengikuti arah pandangannya, dan melihat sebuah kapal yang sangat besar dengan kain layar berwarna hitam. Kanre terbelalak dan segera menjejalkan seluruh potongan roti yang dipegangnya.
"Kenapa?" tanya Seid yang merasa ketakutan karena sikap Kanre.
"Aku harus membuat angin agar bisa kabur dari mereka," gumam Kanre.
"Apa? Kau bisa melakukannya?"
"Tentu saja, karena aku penyihir."
Berdiri dengan percaya diri di haluan kapal, pria besar yang hanya memiliki satu mata melihat sebuah kapal kecil melalui teropongnya. Pria itu masih muda, tapi bekas luka sayatan dan luka bakar yang tertinggal di wajahnya membuat wajah maupun mentalnya menjadi tiga puluh tahun lebih tua.
Kapalnya masih melaju, dan kapal kecil itu semakin lama semakin jelas di teropongnya. Dia melihat dua orang di atas kapal itu. Salah seorang dari mereka membuat gerakan seperti sedang berenang dengan lengannya, dan setelah tiga ayunan perahu kecil itu melaju kencang.
Pria itu menyeringai penuh kesenangan.
"Penyihir," gumamnya.
"Penyihir?" ulang Seid. "Apa itu penyihir?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wizard
FantasyKetika berpikir kalau dia akan terpenjara di pulau membosankan selamanya, seorang pria dari Daratan Luar, daratan yang selama ini hanya menjadi mimpinya, terdampar di pulaunya. Seid, si anak pemimpi, memaksa pria itu untuk membawanya keluar dari pul...