Bab 18 - Pelunasan Hutang

245 52 20
                                    


Para murid Sekolah Sihir berpikiran untuk mengadakan pesta karena kemenangan sang naga yang mati-matian melindungi mereka. Tapi ternyata Seid tidak ditemukan di manapun, begitu pula dengan Kanre. Namun hal itu tidak menghentikan mereka untuk berpesta pora setelah guru-guru selesai memperbaiki gedung.

Saat ini Seid sedang duduk di puncak bukit yang berumput dan segar. Dia mengamati matahari terbenam, tidak ingin melewatkan sedetikpun momen itu. Kanre berjalan di belakangnya tanpa suara, tapi Seid tahu kalau Kanre sedang berada di belakangnya.

"Aku sudah tahu kalau kau tidak akan mati semudah itu," kata Seid tiba-tiba. Kanre tidak terkejut karena Seid menyadari kehadirannya, lalu duduk di samping Seid.

"Itu hanya kebetulan," kata Kanre merendah. "Azen menyelamatkanku. Dia menarikku keluar dari dalam kegelapan."

"Di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan," kata Seid tanpa melepaskan pandangan dari matahari terbenam.

"Kau benar," setuju Kanre. Kanre tertawa. "Yang ada adalah kelicikan sang pengarang."

Setelah itu mereka memandang matahari terbenam di tengah kesunyian. Mereka mengawasi matahari itu menyelinap perlahan ke bawah laut di depan mereka.

"Mereka bilang mereka mengadakan pesta," kata Kanre ketika matahari sudah terbenam sepenuhnya. Mereka berdiri dan beranjak pergi menuju Sekolah Sihir. "Kau ikut?"

"Tentu saja," jawab Seid yakin, mengejutkan Kanre. "Tak ada yang bisa menolak makanan dan tempat tidur gratis."

Mereka tertawa bersama. "Aku harus minta maaf padamu," kata Kanre. "Aku sempat meragukanmu sebagai 'Seid'. Bahkan ketika kau hampir mati saat di pulau Dien, aku tetap melihatmu sebagai Sabbara. Aku sungguh menyesal."

"Tidak apa-apa. Jika ingin membenciku, benci saja," kata Seid. "Akulah yang lebih dulu mengecewakanmu, temanku."

Sekarang ini, Kanre merasa sedang mengobrol dengan kakek-kakek, tidak seperti perasaannya ketika mengobrol dengan Seid beberapa waktu lalu. Sekarang Kanre tidak tahu harus menganggap Seid sebagai apa. Dulu dia pernah sekali berpikir kalau dia adalah pengganti anaknya yang meninggal, tapi sudah tak mungkin lagi berpikiran begitu kepada naga berusia satu millennium.

Mungkin satu-satunya yang paling cocok adalah menjadikannya sebagai temannya. Benar. Seid adalah rekannya. Ketika memikirkannya, tanpa sadar Kanre tersenyum. Lalu dia pun dengan mantap bernyanyi, mengisi kekosongan malam hari.

Siapakah kaumku?

Mereka yang memiliki banyak kasih sayang.

Mereka yang memiliki hati.

Mereka yang memiliki kehangatan dan cinta.

Tapi itu bukan berarti kami adalah yang terbaik.

Karena setiap kaum memiliki itu semua.

Karena kita berdiri di tempat yang sama.

Berpijak di tempat yang sama.

Kita sama sekali tidak berbeda, kita semua sama.

Seid mendengarnya dan merasa takjub. "Apakah lagu itu..." Kanre mengangguk dan menatap Seid dengan tatapan puas.

"Itu adalah lagu ciptaan Elona," katanya. "Karena dia percaya, semua makhluk adalah sama, tidak berbeda sedikitpun. Semuanya yang berpijak pada tanah yang sama, yang tidak bisa melepaskan bumi."

Seid merenungkannya dan mendalaminya. Seid yakin, Elona pastilah wanita yang sangat hebat. Wanita yang cantik dan lembut, sesuai dengan namanya. Dan wanita itu adalah istri sang penyihir hebat. Seid tak sanggup membayangkan akan menjadi keluarga seperti apa mereka jika tak ada yang mengusik mereka. "Pria beruntung," gumam Seid.

"Kau mengatakan sesuatu?" ujar Kanre. Seid menahan tawa dan menggeleng. Kanre tersenyum lebar. "Sekarang, nama Seid akan tersohor dan dikenang sepanjang masa."

"Kau mencuri kata-kataku," tuduh Seid. Mereka tiba di gedung Sekolah Sihir, siap menyambut para siswa yang ribut.

Kenoa sudah dibawa oleh Kerajaan untuk diadili. Karena kekuatannya sudah hilang, Kenoa tidak akan ditimpa hukuman mati. Tapi Seid sendiri tidak ingin tahu hukuman apa yang ditimpakan pada Kenoa, karena itu adalah kebijakan Kerajaan dan Seid sendiri sudah memberikan hukumannya. Hukumannya adalah: membuat segala prestasinya menjadi sia-sia.

Pria itu tidak mengatakan apa-apa lagi kepada Seid. Tapi jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Kenoa berterimakasih kepada Seid.

Naga yang kejam sudah berubah menjadi naga yang bijak. Dan ketidaktahuannya terhadap dunia sebagai bocah dari pulau Fluon telah terisikan oleh masa lalunya yang kelam dan ingin dibuangnya. Namun Seid tidak bisa membuang masa lalunya sendiri. Karena itu adalah alasannya berdiri di sini, sekarang ini.

Ruang makan yang ramai dan sudah didekorasi menyambut kedatangan mereka. Para siswa menyambut Seid penuh kebanggaan. Terutama Dalago dan Cerrata.

"Luar biasa!" seru Dalago yang mengepit tongkat pembantu jalan di ketiaknya. "Tidak kusangka kau adalah Sabbara yang itu! Dan kau telah menyelamatkan hidup kami. Oh, siapa yang akan percaya ini?"

"Bagaimana kalau aku meminta tanda tanganmu dulu sebelum kau jadi terkenal?" gurau Cerrata. Mereka mengobrol dengan asyik. Seid sama sekali tidak membuang kenangan sebagai manusia selama tiga belas tahun lamanya, dan teman-temannya pun menganggapnya sebagai anak berusia tiga belas tahun biasa.

"Di mana Vaon?" tanya Seid, baru menyadari kekurangan dari mereka. "Apakah dia menangis lagi? Karena Frile?"

"Sebaliknya," jawab Dalago kesal. Cerrata menghela napas sambil menunjuk Vaon yang sedang mengobrol asyik dengan Frile. "Si Frile sialan itu pasti menggunakan semacam sihir jahat untuk menggaetnya!"

Seid juga kurang percaya dengan matanya sendiri. Pipi Vaon tampak merona karena tersipu akan setiap perkataan Frile. Seid berpikir apakah tamparan Vaon waktu itu telah menggeser sesuatu di dalam otak Frile.

"Padahal aku sendiri masih sering gagal dalam percintaan," keluh Cerrata. "Enaknya Vaon."

"Anaknya akan menjadi penyihir hebat," gumam Seid.

"Barusan kau bilang apa?" tanya Dalago kesal. Seid menggeleng dan bersikap seolah dia memang tidak mengatakan apa-apa. "Aku tidak percaya ini!"

"Perempuan bukan hanya satu," kata Cerrata riang. "Kemarin aku baru ditolak siswi yang itu. Sekarang targetku adalah..."

Mereka menghabiskan waktu pesta itu dengan bersenang-senang. Lebih konyol lagi karena Cerrata ngotot menanyakan tipe perempuan kesukaan naga berumur seribu tahun, dan Dalago mengatakan kalau Seid pasti menyukai wanita berusia tiga ratus tahun dengan gigi taring dan cakar yang tajam.

Setelah pesta bubar, Seid dan Kanre tidur di kamar yang sama dengan yang waktu itu diberikan Kepala Sekolah. Kebahagiaan meliputi mereka berdua malam itu. Tapi di balik kebahagiaan itu, mereka berdua pun tahu, kalau masalah akan mendatangi mereka cepat atau lambat nanti.

Kanre memutuskan untuk tetap berkelana, mengobati luka hatinya karena ditinggal Elona. Seid pun ingin ikut dengannya, karena Seid sendiri tidak punya tujuan. Kanre bilang Seid bisa berkelana sendiri dengan sayap yang lebih cepat dan praktis, tapi Seid menolaknya. Kanre sendiri tidak merasa terbebani dengan ikutnya Seid, maka Kanre pun membiarkannya melakukan apa yang diinginkannya.

Azen tertarik terhadap kekuatan Grilma dan tampaknya mereka berdua menjadi teman yang cocok. Azen memutuskan untuk meninggalkan pulau Penyihir jika Grilma sudah tiada. Yang dilakukan mereka hanyalah bertukar cerita, menggunakan sudut pandang sendiri mengenai sihir dan alam.

Kebahagiaan ini tidak akan terus berlanjut untuk selamanya, dan Seid harus menyiapkan diri. Tapi tak apa, karena sahabatnya ada di sampingnya.

The WizardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang