Seid melihat-lihat bangunan sekolah selama teman-temannya sedang belajar. Kanre sendiri tampaknya masih sibuk dengan Kepala Sekolah, dan hal itu membuat para guru lainnya merasa cemburu. Tidak hanya karena dekat dengan Kepala Sekolah, tapi juga kekuatannya yang diperoleh di usia awal tiga puluh—masih muda.
Di sebuah koridor di gedung utama, dindingnya dilukis. Entah mengapa Seid sedikit tertarik dengan lukisan itu. Pada salah satu sisi, gambar seekor makhluk seperti kadal bersayap berwarna merah sedang menghancurkan sebuah kota. Dia memiliki sisik tebal bagaikan baja dan tubuh ramping yang mempermudah sayapnya untuk mengangkat tubuhnya. Sayapnya itu seperti sayap kelelawar dengan lebar tiga kali panjang tubuhnya. Matanya pun membara merah seperti api yang disemburkannya.
Di sisi lain, ada lukisan seekor makhluk dengan kepala kuda, tanduk rusa, dan hidung babi. Tubuhnya berwarna putih dan seperti ular, tetapi memiliki sisik ikan. Tangannya yang memiliki empat jari dan taji memiliki kuku yang kuat dan besar, tidak kalah dengan makhluk di seberangnya. Kedua kaki depannya mengangkat sesuatu yang tampak seperti bola air atau bola angin. Dia memiliki rambut seperti seekor kuda di atas tubuh panjangnya hingga ekor, dengan warna yang sama dengan bola itu. Berbeda dengan pemandangan di sekitar makhluk di seberangnya, sekitar makhluk ini hanyalah awan.
"Halo, kau bukan murid di sini?" tanya seseorang dari ujung koridor. Seid terkejut, lalu mengangguk. "Yang datang bersama Kanre, bukan?"
"Ya," jawab Seid. Yang menyapanya adalah pria tua bungkuk yang tampaknya hampir mencapai usia Kepala Sekolah. Rambutnya botak, tetapi menyisakan sedikit rambut yang sejajar dengan telinganya. Wajahnya bersih, tidak memelihara janggut seperti Kepala Sekolah. Dia tidak mengenakan jubah kelabu, tetapi pakaian biasa yang usang dan seperti gelandangan. Dia menghela napas.
"Kanre adalah penyihir yang luar biasa. Namun dia tidak memilih bersekolah di sini, dan itu adalah pilihan bijak," katanya. Dia menatap lukisan yang mengapitnya. "Indah, bukan?"
"Ya. Bolehkah aku tahu, ini makhluk apa?"
"Oh, benar juga. Kau dari pulau Fluon, kudengar?" gumamnya. "Ini adalah naga. Naga yang merah adalah Naga Penghancur, sedangkan naga yang ini adalah Naga Pelindung."
"Apakah Naga Pelindung tidak bisa terbang?"
"Tentu saja bisa!" jawab pria itu penuh semangat. "Naga Pelindung terbang dengan sisiknya. Mereka sangat berbeda dengan Naga Penghancur. Naga Penghancur tinggal di dalam sebuah gua gelap yang pengap, sedangkan Naga Pelindung tinggal di awan dan di sungai, memberikan berkah kepada manusia."
Seid kembali menatap lukisan itu penuh takjub. Lalu dia kembali menatap pria tua itu. "Namaku Seid."
"Namaku Grilma," balasnya. "Mungkin suatu saat nanti kau akan bertemu salah satu dari mereka, Seid. Entah di sebuah kota yang terbakar, atau mungkin di langit pagi yang jernih."
Bel berdering, dan Grilma pun pergi meinggalkan Seid.
Di antara derap langkah anak-anak yang bubar kelas dan menuju ruang makan untuk makan siang, Seid mendengar suara langkah yang mendekatinya. Seid menoleh dan menemukan orang yang dikenalnya. Dia melihat Kanre yang juga sedang mengagumi lukisan.
"Berhati-hatilah pada Naga Penghancur, Seid," ujar Kanre. "Kalau kau bertemu salah satunya, jangan tatap matanya dan jangan memercayai setiap omongannya."
"Kenapa kau bicara seolah aku pasti akan bertemu dengan salah satu dari mereka?" tanya Seid dengan sedikit tawa. Tapi di antara senyuman Kanre terdapat keseriusan, dan Seid harus mengingat pesan itu. "Bagaimana dengan Naga Pelindung?"
"Menurut guru sejarah, selama ini Naga Pelindung dapat dipercaya," jawabnya. "Apa kau bertemu dengan Grilma?"
"Ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wizard
FantasíaKetika berpikir kalau dia akan terpenjara di pulau membosankan selamanya, seorang pria dari Daratan Luar, daratan yang selama ini hanya menjadi mimpinya, terdampar di pulaunya. Seid, si anak pemimpi, memaksa pria itu untuk membawanya keluar dari pul...