"Halo, Assalamu'alaikum." Salam perempuan di seberang sana.
"Farriz, nanti setengah jam lagi tolong jemput Aku di depan Halte Kampung kramat. Aku menunggu disana." Perintahnya membuatku kesal. Enak saja dia menyuruh suamiku, aku saja sungkan.
"Aku bukan Farriz. Elena, jangan menyuruh Farriz yang tidak penting. Dia sedang lelah sekarang." Jawabku sambil memandang kearah kamar mandi. Farriz sedang mandi. Ia baru pulang setengah jam yang lalu dan perempuan itu meminta Farriz untuk pergi lagi. Apa kata dunia? Bisa-bisa besok pagi bisa kita lihat Headline 'Ditemukan Seorang Laki-laki tewas akibat kelelahan'. Oh no! Itu tidak akan terjadi.
"Hai Adik! Tolong beritahu pada Abangmu yang tadi kuberitahu. Aku tidak tahu jalanan disini. Yang kukenal hanya Abangmu." Kicau perempuan itu tidak pantang semangat.
"Bukankah pemerintah sudah menyediakan bus? Naik saja itu atau taksi."
"Adik, jangan berdebat. Please tell your brother."
"He is not my brother." Katamu.
"What? Are you kidding me, right? So, who are you?" mengapa ia tidak memutuskan saja sambungannya. Aku malas berdiskusi dengannya.
"I am his wife." Singkatku. Aku mendengarnya terbatuk lalu, tertawa diseberang sana. Terkejut mungkin.
"Tidak ada lagi masalah kan?" pastiku.
"Ad--. Tit..tit..tit." Aku memutuskan sambungan terlebih dahulu karena melihat pintu kamar mandi tampak bergoyang seperti ingin dibuka. Aku menaruh ponsel Farriz pada tempat semula dan menarik selimut sebatas pinggul lalu, punggungku kusandarkan pada tempat tidur serta tak lupa majalah kurentangkan untuk kubaca.
Aku takut Farriz marah padaku. Aku tahu aku tidak sopan karena menerima panggilan dari ponsel orang lain tanpa orang itu tahu. Tetapi itu bukan salahku juga. Siapa suruh ponselnya berdering terus menerus seakan merayuku untuk mengangkatnya.
"Ke, serius banget bacanya sampai-sampai majalahnya saja terbalik." Mulai Farriz yang sedang menglap rambutnya. Kamu semua harus melihat betapa seksinya Farriz sekarang ini atau hanya aku saja yang mengatakan dia seksi dengan kulit putih berkilau dan rambut setengah basah. Aww.
"Eng..eng...enggak kok. Enggak terbalik." Kilahku gugup. Dia tersenyum kearahku. Yang aku lihat sekarang mukanya sangat berkilau-kilau bagaikan rembulan dan aku ingin segera berdiri lalu berlari kepelukannya dan memeluknya dengan erat tanpa ingin melepaskan lagi. Itu semua tidak berani aku lakukan.
"Lihat ini. kalo kamu gak percaya." Paksaku. Aku sengaja bangun dari tempat tidur dengan membawa majalah itu. Aku berdiri didekatnya dengan jarak sangat dekat, aku dapat mencium aroma tubuhnya. Aku suka.
"Iya. Kok bisa gini ya majalahnya. Cuma gambar ini aja yang dibalik. Kreatif banget yang buatnya." Pujinya. Aku dapat melihat rambut-rambut kecil disekitar tumbuh brewokannya.
"Mau apa kamu dekat banget denganku. Mau aku peluk?" godanya. Aku spontan menggeleng lalu mundur cepat-cepat.
"Hati-hat---- bammm." Aku jatuh ketempat tidur dengan gaya terlentang. Ini semua sebab Farriz untuk apa dia tanya mengapa aku berdiri didekatnya. Aku kan ingin mencium aromanya ataupun dipeluk olehnya. Aku merasa sudah lama tidak dipeluk.
"Kamu pingin dipeluk kan?" tanyanya yang sudah ikut rebah disampingku. Aku tidak menggeleng maupun mengangguk. Aku juga tidak berpaling kearahnya tetapi memilih memejamkan mata menikmati wangi tubuhnya yang dapat kujangkau ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijab In Love
Spiritual- Azrianzka Farriz Hamzah - Ike, nama yang cantik. Mampu menyulap degub jantungku. Menghipnotis senyumku dalam hitungan detik. Dia istimewa. Tatapannya sungguh indah. Aku ingin bersamanya. Cara bicara dan senyumnya itu mampu membuatku tak tidur sema...