21

1.9K 68 0
                                    

            Suara riuh memenuhi ruangan yang tak seharusnya riuh. Stiker harap tenang telah ditempelkan dibeberapa tempat seperti di pintu dan beberapa tempat spesifik lainnya. Mereka riuh bukan karena senang ataupun gembira tetapi mereka sedang protes kepada pemimpin yang cenderung lebih muda dari mereka.

"Buk, apa perlu kita lakukan semua ini. Saya rasa rumah sakit sebesar ini tidak perlu melakukan ini semua untuk menarik minat masyarakat." Ujar seorang Staf. Ike merasa kesal dengan pertanyaan itu tetapi ia bukan orang bodoh yang akan menunjukkan kekesalan di depan khalayak ramai. Kekesalannya digantikan dengan senyum manis miliknya. Para Staf lainnya ikut-ikutan membenarkan seperti buih mengikuti ombak.

"Aku tidak membuat ini untuk menarik minat siapapun. Jika Anda berpikir seperti itu ataupun tidak setuju. Silahkan coret nama Anda di daftar ini." Sahutnya tenang diakhiri dengan senyum serta tatapan mata menusuk yang membuat seluruh Staf terdiam. Ia memberi segepak kertas ke Staf yang protes tersebut. Staf tersebut pias dan langsung menolak menjauh kertas itu darinya.

"Bukan begitu maksud saya buk. Dengan mengadakan acara ini menurut saya hanya akan menghabiskan dana saja. Apa lagi kita adakan ini di wilayah pinggiran." Hujat Staf laki-laki itu. Mata Ike semakin tajam menatap Staf itu dan gigi bergemetuk. Beberapa Staf mengangguk-angguk dan beberapa lainnya melihat Staf pemrotes itu dengan tatapan tidak suka.

"Apa di dalam kepalamu hanya uang dan uang? Dan apakah ada yang salah dengan wilayah pinggiran? Logikanya jika kita membuat kegiatan amal ini di daerah kota yang mereka bisa menjangkau rumah sakit sedangkan di daerah wilayah pinggiran pelosok sana cium aroma rumah sakit saja mereka tidak pernah." Sahutnya.

"Tapi Buk," bantah Staf itu lagi. Benar-benar kuat terpaan Staf yang satu ini.

"Tidak ada tapi. Bukannya Saya egois. Tetapi tolong munculkan sifat kepedulian kalian. Coba renungkan untuk apa rumah sakit sebesar ini jika masih banyak di luar sana orang hampir mati karena sakit. Bukankah itu sangat memalukan?" para Staf mengangguk termasuk pembantah tadi. Akhirnya sadar juga.

"Saat kalian ingin menjadi donatur di rumah sakit ini atau pegawai di sini pasti Ibuku sudah terlebih dahulu memberitahukan kalian jika Ayahku menghadiahkan Rumah sakit ini kepada Ibuku dengan tujuan dasar ingin membantu orang-orang yang kurang beruntung. Jadi tunggu apa lagi ini adalah waktunya kita menwujudkan tujuan kita kan?" kini wajahnya sudah hilang akan emosi menggebu yang tertinggal hanya ekspresi penuh keyakinan dan seluruh Staf menggangguk membenarkan.

"Baiklah. Saya ingin bertanya sekali lagi untuk memastikan. Apakah kalian setuju dengan acara ini?" pastinya. Mereka semua mengangguk. Ike tersenyum bahagia melihat persetujuan mereka.

"Terima kasih atas partisipasi kalian semua. Akan kita pilih beberapa dokter dan perawat terbaik untuk ikut dalam acara ini. Baiklah, rapat kali ini cukup di sini dulu. Assalamu'alaikum." Salamnya mengakhiri rapat diiringi sedikit bungkuk untuk menghargai para hadirin. Ia berjalan meninggalkan ruang rapat dan diikuti oleh sekretaris perempuannya.

Ia masuk ke ruangannya dan me-review kembali apa yang telah ia lakukan hari ini. Ia sadar jika ia masih kurang pengalaman dibandingkan Staf pengaju protes tadi. Staf itu sudah tua dan dilihat-lihat ia sudah mengetahui seluk beluk rumah sakit ini secara mantap. Staf itu juga terlihat mengerikan. Siapapun di ruangan itu pasti mengatakan mengerikan, bisa dilihat dari ia yang awalnya tidak setuju akhirnya setuju setelah mendengar khotbah Ike.

Ike beranjak dari kursi kebanggaannya lalu mengambil tasnya kemudian berjalan menuju pintu untuk meninggalkan ruangan itu.

"Saya keluar sebentar. Ini sudah jam makan siang. Kamu istirahatlah. Tinggalkan pekerjaanmu sebentar dan lanjutkan kembali nanti. Jangan lupa matikan komputermu sebelum meninggalkan ruangan ini untuk antisipasi." Pesannya. Sekretarisnya mengangguk dengan muka menganga mungkin terkejut mendengar pesan bosnya yang begitu panjang.

***

IKE POV

Sudah beberapa hari ini aku sangat rajin berkunjung kemari, yang pastinya disela-sela waktu dan sebagian dari pegawai kantor ini sudah tahu bahwa aku adalah isteri dari bos mereka.

"Salsa, apa bapak di dalam?" tanyaku pada Salsa yang sedang fokus mengetik. Ia cepat-cepat bangun saat tahu aku yang berbicaranya dan membungkuk sopan kepadaku. Aku juga ikut membungkuk atas nama saling mneghargai.

"Ada Buk." Jawabnya tegas dengan wajahnya minim ekspresi. Aku tahu ia Sepupunya Farriz, tetapi ia masih kaku denganku. Aku tersenyum jika melihatnya.

"Terimakasih." Aku melangkahkan kaki inginmenuju pintu ruangan Farriz.

"Tapi Buk." Tahannya.

Aku berbalik ke belakang tepatnya ke arahnya dan menunggu apa yang ingin ia katakan. "Di dalam ada tamu. Maaf sebelumnya, mungkin jika Ibu masuk nanti akan terganggu." Benar juga katanya mungkin ini adalah tamu penting untuk Farriz. Aku berdiri dan melihat-lihat sekeliling ini. Aku baru tahu jika lantai ini hanya di huni oleh ruangan Farriz dan tiga meja bersambung untuk Salsa. Meja Salsa berpas-pasan berada di depan pintu ruangan Farriz. Saat kita keluar dari ruangan Farris maka yang pertama kali yang kita lihat adalah mukanya Salsa dan aku baru menyadari itu.

"Ibu, jangan berdiri di situ. Kaki ibu bisa kelelahan berdiri terus. Ibu duduk saja. Kami menyediakan kursi tunggu kok." Candanya dengan ekspresi masih datar. Bagi orang yang belum mengenalnya mungkin saja tidak tahu jika sekarang Salsa sedang bercanda. Aku juga baru tahu di sini ada kursi tunggu.

Kursi tunggunya berada di sebelah kanan pintu jadi kita harus melewati pintu untuk mencapai kursi. Pintunya ditutup gak rapat batinku. Aku berdiri di depan pintu ingin menutup pintu dengan rapat.

"Ibu..." Panggil Salsa secara bisik. Salsa menggeleng serta menaruh telunjuk dibibirnya mengkodeku untuk tidak menyentuh pintu. Sayangnya, aku sudah memegang gagang pintu.

"Farriz, aku benar-benar tidak tahu jika kamu sudah menjadi seorang suami." Aku ingat itu suara perempuan yang menelepon tadi malam, Elena. Ternyata dia tamunya.

"Tadi malam aku meneleponmu dan yang mengangkat seorang wanita." Itu aku, ingin aku teriak seperti itu.

"Aku pikir itu adikmu yang sering kamu ceritakan dulu, dari nada bicaranya ia terlihat dingin dan dia katakan ia isterimu. Awalnya aku tidak percaya dan sampai sekarang aku belum percaya. Selain untuk membahas kelangsungan kerjasama kita, aku ingin menanyakan ini." Terimalah kenyataan Elena batinku.

"Benar. Dia isteriku. Tadi malam sebelum menjemputmu, ia sudah memberi tahuku jika kamu menelepon dan dia mengangkatnya. Kami sudah setengah tahun menikah." Aku tersenyum mendengar jawaban Farriz yang menegaskan bahawa aku adalah isterinya.

"Bagaimana denganku? Aku sudah bertahun-tahun bersamamu." Apa maksudnya bertanya seperti itu. Aku mendengar tersirat nada harapan untuk hal lain di dalamnya.

"Semoga kita menjadi partner." Maksudnya partner? Partner itu pasangan kan? Jika mereka pasangan, aku ini apa?

"Baiklah. Aku pamit." Dari celah pintu ini aku melihat Elena mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu serta Farriz mengikuti di belakang.

Ini gawat. Aku tidak boleh ketahuan telah mendengar percakapan mereka. Aku berbalik dan berjalan cepat meninggalkan lantai ini serta tak lupa mengode Salsa untuk diam dan jagan beritahu siapapun jika aku kesini. Aku berharap Salsa mengerti.

Berlari cepat adalah cara yang harus aku tempuh untuk menghilangkan jejakku dari sini serta tangga darurat ialah jalan yang tepat untuk lenyap. Jika aku menggunakn lift pasti saat Elena menggunakan lift akan lama terbuka lalu, ia akan bertanya pada Salsa siapa sebelumnya yang menggunakan lift ini. Dan itu tidak baik untukku. Akibat dari hari ini, aku harus makan siang sendiri. Katakan aku seorang pengecut, silahkan. Aku hanya belum siap. Suatu saat, akan tiba saat aku siap. Tunggu saja.


Hijab In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang